Sukses

Suka Duka Jadi Anak Sulung, Tengah dan Bungsu

Jangan menyesal menjadi anak pertama, tengah atau bungsu. Semua punya kelebihan dan peran masing-masing

Orangtua yang memiliki anak lebih dari satu, tak jarang sering mendengar keluhan dari anak-anaknya, mengapa ia dilahirkan pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Padahal, terlahir sebagai anak sulung, tengah, atau bungsu, memiliki keistimewaannya masing-masing, yang belum tentu dimiliki yang lain.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman



Anak pertama

- Sisi Positif

Brama Adiwinata, pria yang bekerja sebagai pegawai swasta di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan ini pertama kali  merasa kesal, karena telah dilahirkan sebagai anak pertama, yang memiliki beban tersendiri. Tapi, semakin bertambahnya usia, ia menyadari bahwa menjadi anak pertama tidak selamanya tak enak.

"Kebetulan saya anak pertama dari 4 bersaudara, rasanya itu berat saja di awal-awal. Orangtua selalu meminta saya menjadi manusia yang `sempurna`. Itu berat menurut saya," kata Brama kepada tim Health Liputan6.com, Selasa (17/9/2013).

"Tapi ternyata, setelah sekarang sukses, saya selalu menjadi contoh untuk ketiga adik. Bahkan kalau lagi ngumpul, ibu selalu bilang, 'Alhamdulillah, si kakak sekarang sukses. Dan bisa menjadi contoh buat adik-adiknya'. Senang saja mendengarnya," tambah Brama.

Hal serupa terjadi pada Febry (Editor Senior salah satu majalah), Didit Rajasa (Customer Service), dan Ridho Kurniawan (Mahasiswa). Ketiganya mengungkapkan, enaknya menjadi anak pertama lebih disayang kedua orangtua, dan bahkan sayangnya itu melebihi apa yang didapatkan oleh adik-adiknya. Selain itu, menjadi anak tertua kerap dijadikan anak yang dapat dihandalkan oleh kedua orangtua dan adik-adiknya.

"Kebetulan, saya ini sifatnya yang mau diandalkan, ya saya senang-senang saja kalau ternyata dapat diandalkan," kata Febry.

- Sisi Negatif

Untuk sisi tidak enaknya, Didit mengungkapkan, orangtua sering memohon kepada anak pertama untuk memberikan tanggung jawab kepada adik-adiknya.

"Ini yang saya alami ketika kecil. Saya merasa, belum saatnya seperti itu, karena menurut saya itu tugas dan kewajiban dari orangtua, bukan selaku anak pertama," ujar Didit.

"Kalau saya, sering merasa kesal, kalau sudah jadi pihak yang selalu disalahkan. Contohnya, kalau adik berbuat salah, orangtua selalu bilang, 'Makanya, kamu jadi kakak harus memberikan contoh yang baik pada adikmu. Kalau kamu memberikan contoh,  dia tidak akan nakal seperti ini'. BeTe mampus gw digituin," kata Ridho.
3 dari 4 halaman



Anak Tengah

Untuk anak tengah, Edho Prasetyo, Sales di Perusahaan kenamaan di Jakarta mengatakan, bahwa ia memiliki ego yang tinggi. Dia berusaha menjadi anak yang sempurna, lebih sempurna ketimbang anak pertama dan anak terakhir.

"Soalnya, saya merasa sering terabaikan begitu saja, karena kepentingan anak pertama dan terakhir. Jadinya ya, ego saya jadi tinggi. Berusaha tampil lebih baik, agar lebih diperhatikan," terang Edho.

Sisi baiknya, tambah Edho, ia tumbuh dan berkembang menjadi anak yang lebih mandiri dan tidak manja. Bahkan sekarang, Edho menjadi anak yang sukses, ketimbang kakak dan adiknya.
4 dari 4 halaman



Anak Bungsu

Arny Putri, karyawati di stasiun televisi swasta di Jakarta, terlahir sebagai anak terakhir dari dua bersaudara. Arny selalu bersyukur, karena ia menjadi anak yang kemauannya senantiasa dituruti oleh kedua orangtuanya, terutama kakaknya. Dengan catatan, Arny cukup sadar diri dalam hal meminta apa yang menjadi keinginannya.

"Selebihnya, anak bontot itu lebih dimanja, kasih sayang berlimpah, dan jarang dimarahi. Namanya juga anak bontot. Anak bontot nggak boleh dibuat nangis, lho," kata Arny sembari tertawa.

Hal yang tidak mengenakkan menjadi anak terakhir, tambah Arny, orangtuanya lebih over-protektif terhadap dirinya. Terutama ayahnya. Sang ayah bahkan selalu meneleponi Arny, bila sesudah maghrib ia belum sampai di rumah.

"Ini terjadi waktu saya kuliah. Ayah selalu nelpon, kalau saya sesudah maghrib belum pulang kuliah juga," katanya.

"Tidak enak berikutnya, kalau mau pergi harus jelas sama siapa, dan yang mengajak pergi harus izin sama ayah," tambah Arny.

Tapi dari segala hal yang tidak mengenakkan itu, menurut Arny ada satu hal yang membuatnya jengkel terlahir sebagai anak terakhir, yaitu selalu dianggap anak kecil.

"Iya, sering dianggap anak kecil. Pendapatnya jarang sekali didengar," keluh Arny.

(Adt/Igw/*)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.