Sukses

Fobia Kursi Roda dan Kancing, Rasa Takut yang Tak Tahu Pencetusnya

Firsta memiliki fobia kursi roda, sementara Adi punya fobia dengan kancing. Namun, mereka punya kesamaan, yakni tidak tahu pencetusnya.

Liputan6.com, Jakarta Sudah 10 tahun Firsta Nodia hidup dengan fobia kursi roda. Firsta tidak pernah ingat peristiwa pahit di masa lalu yang bikin dia dianugerahi rasa takut berlebihan terhadap alat penopang bagi orang-orang yang tak dapat berjalan itu.

Kemampuan mengingat Firsta semacam menurun setiap ditanya penyebab dia bisa fobia kursi roda.

"Sampai sekarang kalau ada teman yang bertanya kenapa, saya bilang engga tahu, karena memang benar-benar tidak ingat," kata Firsta saat berbincang dengan Health Liputan6.com belum lama ini.

 

Soal pemicu dari fobia kursi roda memang Firsta lupa. Pewarta berjilbab berumur 24 tahun ini hanya ingat kapan pertama kali sadar memiliki fobia.

"Saat jenguk teman pas SMP. Baru tahu kalau fobia kursi roda dan tongkat," kata Firsta menambahkan.

Hal yang sama juga dialami Adi. Menurut penuturan sang istri, Lani, Adi punya fobia kancing sejak duduk di taman kanak-kanak.

"Kalau aku tanya alasan dia takut kancing, dia tidak pernah tahu. Sama sekali blank," kata Lani.

Umur Adi sekarang sudah 34 tahun. Sudah menjadi ayah dari bocah laki-laki bernama Damar. Dia tetap bergidik kalau melihat kancing yang tidak menempel pada baju.

Lani bercerita, Adi bisa berteriak kencang kalau menemukan ada kancing yang tergeletak di meja atau mana pun. ia lantas menyuruh Lani untuk segera memungut lalu membuang kancing itu jauh-jauh.

"Dia teriak memanggil nama saya 'Ibu... Ini apaan sih ada di sini? Buang!'," kata Lani sambil tertawa.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 5 halaman

Fobia Tanpa Pencetus, Normal?

Firsta dan Adi adalah contoh kecil dari individu dengan fobia tertentu yang tidak pernah tahu pencetusnya. Dr Ika Widyawati SpKJ(K) menilai itu hal yang lumrah.

"Normal kok," kata dr Ika.

Dr Ika mengatakan bahwa fobia pasti punya pencetus, tapi pasien tidak pernah menyadari itu. Hal ini biasa terjadi karena kemampuan mengingat manusia yang terbatas.

"Daya ingat manusia itu (umur) 4 tahun ke atas. Apa yang terjadi di bawah umur itu, manusia tidak akan ingat sama sekali apa yang terjadi, kecuali dikasih lihat foto-foto. Itu pun tidak ingat betul," ujar dia.

Karena itu, dr Ika menilai, bisa saja rasa takut yang dialami Firsta dan Adi tercetus di umur 4 tahun ke bawah sehingga mereka tidak ingat.

"Karena mungkin kejadian itu zaman dulu, jadi dia tidak ingat sama sekali. Misal, dia naik kursi roda lalu gelundung sendiri, kan bisa saja," ungkapnya.

3 dari 5 halaman

Fobia pasti punya pencetusnya

Fobia, kata Ika, pasti ada pencetusnya. Entah itu pengalaman buruk yang dialami pasien itu sendiri, atau dampak akumulatif karena sering ditakut-takuti.

Sebagai contoh yang menimpa pasien Ika. Seorang anak laki-laki yang begitu takut akan hujan. Sampai-sampai dia meminta sang ibu untuk menutup seluruh korden begitu hujan turun. Rasa takut semakin menjadi-jadi pas hujan yang membasahi tanah turun dengan deras ditambah petir yang bersahutan.

"Ibunya ingat, dulu punya suster zaman kecil suka ditakut-takuti. Suster itu suka ngomong 'Awas ada hujan dan gledek, nih'. Sejak itu dia ketakutan," kata Ika.

Perubahan pun terjadi di hidup Firsta setelah hari nahas itu. Gadis dari Batam, Kepulauan Riau ini mengalami kesulitan buat mengontrol rasa takut karena fobia yang mulai menyerang.

Firsta mengatakan hanya bisa menjerit dan berusaha kabur kalau melihat ada orang pakai kursi roda. "Saya pernah sampai harus memegang tangan teman sebelah dan menutup mata saat berada di satu tempat yang sama dengan pengguna kursi roda."

Firsta bahkan sempat "dimusuhi" teman sendiri. Akibat dari fobia ini, dia pernah sampai enggan masuk ke dalam kelas gara-gara ada seorang teman yang memakai tongkat.

"Dia habis kecelakaan. Pas dia tahu saya enggak mau masuk kelas, anak itu jadi sensi (sensitif). Dia bilang 'Kok sok banget si Firsta? Masa enggak mau masuk kelas gara-gara ada gw?'," kata Firsta menceritakan penderitaan yang dia alami.

Maksud hati bukan mau sombong. Namun, ada rasa deg-degan yang sulit diceritakan muncul begitu kaki akan melangkah ke dalam kelas.

Akan tetapi, kesalahpahaman itu tidak berlangsung lama. Teman yang sempat salah paham itu pada akhirnya mengerti kalau Firsta tidak setega yang dia pikirkan. Permasalahan pun kelar.

Adapun Adi, menurut Lani, bisa mual dan tiba-tiba muntah kalau sedang makan dan tiba-tiba ada kancing di dekat dia.

"Lucunya, kalau kancing yang menempel di kemeja, dia tidak masalah. Karena setiap hari juga dia kan pakai kemeja ya," kata Lani.

Lani sendiri, yang sudah mengenal Adi lebih dari sembilan tahun, tidak pernah bisa mengerti apa di balik alasan Adi geli sama kancing. Bukan cuma kancing bulat, tapi kancing cetet pun dia tidak mau.

4 dari 5 halaman

Fobia bisa sembuh

Spesialis Kesehatan Jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM) ini lebih lanjut menjelaskan, fobia tetap suatu gangguan kejiwaan yang tidak diketahui sebabnya sampai detik ini.

Hal mendasar dari fobia adalah cemas. Jadi fobia masuk ke dalam gangguan cemas. Kalau dijabarkan lagi, gangguan cemas itu bermacam-macam. Ada fobia, OCD, bahkan gangguan cemas menyeluruh.

"Fobia itu kecemasan terhadap sesuatu yang tidak realistis," kata dr Ika.

Namun, gangguan kecemasan ini bisa sembuh dengan cara berdamai dengan diri sendiri. Lambat laun fobia akan hilang sendiri.

Firsta sudah mencoba cara itu sejak kuliah. Jauh sebelum dia menekuni profesi sebagai jurnalis kesehatan yang harus terbiasa terhadap rumah sakit. Tempat yang memudahkan dia bertemu dengan benda-benda yang begitu dia takuti.

"Waktu itu ada teman dekat yang kecelakaan. Mau enggak mau harus membawa dia ke rumah sakit. Terus saya yang harus merawat dia di kosan. Dan dia pakai tongkat," kata Firsta.

Firsta pun mulai terbiasa. Belum lagi pas kerja, mengharuskan dia meliput segala sesuatu di rumah sakit, sehingga fobia kursi roda dan tongkat perlahan-lahan hilang.

"Alhamdulillah sudah tidak fobia lagi," kata Firsta.

5 dari 5 halaman

Menghilangkan fobia

Apa yang dilakukan Firsta untuk mengurangi fobia itu disebut dr Ika sebagai terapi sensitivitas. Pada praktiknya, sensitivitas pasien akan dikurangi sedikit-sedikit.

Pada fobia balon, misalkan. Pertama yang dilakukan, dokter akan memperlihatkan gambar balon terlebih dahulu. Setelah gambar, baru balon yang asli tapi dari jarak yang jauh. Kemudian, balon yang belum ditiup harus dipegang oleh pasien.

"Lama-lama disuruh meniup sendiri balon tersebut. Lalu disuruh pegang balon yang dia tiup, dan berukuran besar itu," kata Ika.

Kalau memang masih tak mempan juga, dibantu dengan pemberian obat cemas untuk bantu meredakan ketakutan tersebut.

"Setiap orang punya kemampuan menerima sesuatu yang berbeda-beda. Ada yang cepat, ada yang lama. Semua tergantung dari diri sendiri," kata Ika.

Firsta mengaku fobia tersebut sudah hilang 90 persen. Hanya saja kalau harus pulang malam dari rumah sakit dan melihat ada kursi roda teronggok di lorong yang sepi, ketakutan itu muncul lagi.

"Pelan-pelan saja, yang penting orang yang fobia itu rasa takutnya berkurang," kata Ika menanggapi yang dialami Firsta.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini