Sukses

Ini Alasan IDI Tolak Prodi Dokter Layanan Primer

Menurut IDI, prodi dokter layanan primer (DLP) tidak efisien dari segi biaya, waktu dan pemanfaatan sumber daya.

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) belum menemui kesepakatan dengan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Kesehatan mengenai definisi serta pelaksanaan program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Ada beberapa alasan yang membuat IDI tidak sepakat dengan kedua kementerian tersebut mengenai DLP.

IDI mengungkapkan frasa dokter layanan primer dalam UU No 20 Tahun 2013 bertentangan dengan UU Nomor 29 Tahun 2004 Praktik Kedokteran dan UU No 36 Tahun 2009 tentang Tenaga Kesehatan.

"Frasa dokter layanan primer dalam UU No 20 Tahun 2013 merupakan ide dengan konsep tidak berdasarkan evidence based health care. Serta tidak melalui suatu evaluasi dengan keputusan yang baik dan matang," tulis IDI dalam rilis pers yang diterima Health-Liputan6.com pada Rabu (1/2/2017).

IDI mengungkapkan bahwa pendidikan dokter saat ini menggunakan SKDI (Standar Kompetensi Dokter Indonesia) 2012. Di dalamnya sudah termasuk semua kompetensi dokter layanan primer.

Terlebih lagi, saat ini sedang disusun Standar Kompetensi Dokter Layanan Primer (SKDI) 2017. Kehadiran standar kompetensi ini bertujuan memperbaiki kompetensi dokter dalam kurikulum pendidikan dokter dan kerangka besar sistem pendidikan kedokteran sesuai dengan kebutuhan terutama dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dan AFAS 2020.

Lalu, prodi DLP ini setara spesialis sekitar 80% sama dengan pendidikan profesi spesialis dokter keluarga.

"Kemiripan ini menyebabkan kolegium DLP tidak bisa dibentuk dan lulusan prodi DLP tidak bisa praktik sebagai dokter DLP karena Surat Tanda Registrasi (STR) sebagai syarat menjalankan praktik kedokteran tidak mungkin dikeluarkan," tulis IDI.

Ratusan Dokter di Medan Unjuk Rasa Tolak DLP. Foto: Reza Perdana/Liputan6.com

Lalu, penguatan dan peningkatan kompetensi dokter di layanan primer berdasarkan UU No 12 Tahun 2012 dan UU No 36 Tahun 2014 dilaksanakan melalui Program P2KB (Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan) terstruktur atau structured CPD (Continuing Professional Development) yang ditetapkan oleh Word Federation of Medical Education.

Sehingga menurut IDI, prodi DLP tidak efisien dari segi biaya, waktu dan pemanfaatan sumber daya, serta tidak ada bentuknya dalam sistem pendidikan dokter baik di Indonesia maupun dunia internasional.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Prodi DLP dengan pelayanan kesehatan

Lalu berikut, pokok pemikiran IDI mengenai prodi DLP dan pelayanan kesehatan:

1. Jika prioritas kita adalah bagaimana melayani seluruh penduduk Indonesia dalam tahun 2019 sesuai roadmap JKN, maka prioritas Kemenkes adalah bagaimana mendayagunakan lebih banyak dokter umum yang ada sebagai tenaga dokter di FKTP (fasilitas kesehatan tingkat pertama) dan bukan menyekolahkannya lagi dalam prodi DLP. Kita membutuhkan sekitar 20 ribu dokter umum lagi sebagai dokter FKTP.

2. Dalam pelaksanaan JKN selama dua tahun ini, berdasarkan data BPJS, rujukan dari FKTP (puskesmas, klinik dan dokter praktik mandiri) ke FKTL (fasilitas kesehatan tingkat lanjut: seperti rumah sakit) secara nasional adalah sekitar 12%, ini masih dibawah standar maksimum 15% (rumor yang menyebutkan bahwa persentase rujukan tinggi bisa dipastikan tidak berdasar atas data yang valid). Fakta rujukan ini menunjukan bahwa dokter umum berkompeten sebagai dokter di layanan primer. Oleh karena itu, tidaklah diperlukan untuk dididik lagi di prodi DLP dengan tujuan yang sama.

3. Di beberapa FKTP tertentu terdapat rujukan yang lebih dari 15%, namun penyebabnya adalah lebih banyak karena hal lain di luar kompetensi dokter, terutama kekurangan sarana dan prasarana (50% Puskesmas kurang), kekurangan obat (Puskesmas umumnya punya 80% dari kebutuhan obat), masalah kapitasi yang masih rendah, dan atas permintaan pasien.

4. Tingginya biaya pelayanan kesehatan di FKTL (Rumah Sakit) bukanlah karena kompetensi dokter di FKTP, tetapi karena 2 hal berikut:

a. Adanya adverse selection. Banyak peserta mandiri/ PBPU (peserta bukan penerima upah) yang sakit, sehingga rasio klaimnya 400% (premi 4 Triliun, pengeluaran 16 Triliun)

b. Banyaknya penyakit katastropik (jantung, gagal ginjal, kanker, stroke dll) yang menghabiskan 33% biaya rujukan menunjukkan belum jalannya UKM. Pembangunan UKM haruslah menjadi prioritas, menggunakan tenaga Kesehatan Masyarakat, bukan dokter di layanan primer.

5. Saat ini dari 144 kompetensi dokter level 4A belum semuanya dapat di gunakan karena masalah fasilitas kesehatan di layanan primer.

Kesepakatan penyelesaian diagnosis level kompetensi 4A pada masing-masing daerah yang terbaru menurut FGD DJSN tentang kerja sama BPJS dengan FKTP adalah sebagai berikut:
Jawa Tengah (Semarang):126 diagnosis; Bali (Denpasar): 110 diagnosis; Sulawesi Selatan (Makasar): 122 diagnosis; Kepulauan Riau (Batam): 121 diagnosis; Klinik TNI: 115 diagnosis; Kalimantan Tengah (Palangkaraya): 97 diagnosis Sumatera Barat (Padang): 130 diagnosis; Bekasi: 126 diagnosis dan Kabupaten Bekasi: 122 diagnosis.

6. Revisi Undang-Undang Pendidikan Kedokteran tidak hanya fokus pada DLP tapi sistem pendidikan kedokteran seutuhnya. Pasal-pasal yang perlu diganti antara lain perubahan terhadap 15 pasal dari 54 pasal, termasuk 17 Frasa ‘dokter layanan primer’ dihilangkan, penambahan isi pasal tentang standar nasional pendidikan kedokteran, Kurikulum, Uji Kompetensi dan Gelar, serta kuota daerah tertinggal, perbatasan dan kepulauan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.