Sukses

Membidik Ketimpangan Asupan Gizi Menggunakan Instagram

Yang mengejutkan para peneliti, walupun jenis makanan sangat bertolak belakang, jumlah energi yang diasup dua kelompok itu cukup serupa.

Liputan6.com, Atlanta - Begitu banyak pengguna media sosial Instagram mengunggah foto-foto makanan mereka. Ternyata, dengan sentuhan ilmuwan, foto-foto itu bisa menunjukkan kecenderungan pola makan terkait wilayah tertentu.

Dikutip dari Science Alert pada Senin (7/3/2016), suatu tim di AS mempelajari 3 juta unggahan foto makanan dengan informasi lokasi melalaui Instagram. Temuan mereka cukup menarik, yaitu orang dalam suatu komunitas yang jauh dari pasar bahan pangan cenderung menyantap makanan dengan kandungan lemak, kolesterol, dan gula yang jauh lebih tinggi.

Kata Munmun De Choudhury, ilmuwan komputer dari Georgia Institute of Technology (Georgia Tech), “Pihak USDA mencirikan ‘gurun’ pangan berdasarkan keberadaan bahan pangan segar. Instagram memberikan kepada kami gambaran tentang apa yang dimakan seseorang dalam komunitas demikian, sehingga kami bisa mempelajarinya dengan cara baru.”

Memang tidak ada bukti bahwa makanan yang diunggah seseorang adalah memang makanan yang disantapnya, namun demikian penelitian sebelumnya menemukan korelasi antara apa yang diunggah seseorang dengan apa yang sebenarnya disantap.

Ternyata ada juga pengaruh kuat budaya—orang kaya cenderung mengumumkan makanan sehat. Hal ini juga terbaca dalam penelitian dengan Instagram ini.

Menurut para peneliti Georgia Tech itu, orang yang tinggal di ‘gurun’ pangan lebih berkemungkinan mengambil foto dan menyantap makanan semisal daging babi, saos mayones, dan kue-kue. Sebaliknya, mereka yang berdekatan dengan pasar bahan pangan dan toko pangan sehat menyenangi (dan mengunggah) pangan seperti bagel, sayur kale, dan bulir-bulir hummus.

Kata De Choudhury, “Buah-buahan dan sayur-sayuran adalah pembeda utamanya. Sekitar 48 persen unggahan orang yang bukan dari ‘gurun’ pangan memasukkan bahan makanan ini. Hal ini dilakukan hanya oleh 33 persen di wilayah-wilayah ‘gurun’ pangan.”

Para peneliti menggunakan Instagram sebagai kumpulan data lalu mereka memeriksa jutaan unggahan dengan penunjuk lokasi—geo-tag—dan mencari kecocokan dari sebuah daftar berisi 600 tag terkait makanan, misalnya tahu, cokelat, daging sapi, dan bulir gandum.

Temuan ini dipaparkan dalam pertemuan ACM Conference on Computer-Supported Cooperative Work and Social Computing di kota San Francisco. Ditengarai, makanan yang disantap di daerah ‘gurun’ pangan mengandung lemak, kolestrol dan gula sebanyak 5 hingga 17 persen lebih banyak daripada yang disantap di luar ‘gurun’ pangan.

Untuk menghitung perbedaannya, peneliti wanita itu bersama dengan rekan-rekannya menggunakan nilai kandungan gizi pangan terbitan USDA pada lebih dari 9000 jenis makanan.

Yang mengejutkan para peneliti, walaupun jenis makanan sangat bertolak belakang, jumlah energi yang diasup dua kelompok itu cukup serupa.

“Tidak diduga, asupan kalori pada pangan yang diunggah oleh orang di ‘gurun’ pangan tidak jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tempat-tempat lain. Namun demikian, asupan lemak, kolesterol, dan gula dalam makanan, seperti ditunjukkan dalam unggahan Instagram, jauh lebih tinggi.”

Para peneliti mengakui ada keterbatasan dalam cara mereka menduga apa yang dimakan seseorang, misalnya tidak diukurnya porsi makanan tersebut.

Lalu, tidak bisa diketahui apakah gambar makanan yang diunggah itu memang benar-benar disantap oleh pengunggah gambar atau persentasi makanan itu dari apa yang disantap keseluruhan.

Budaya setempat juga memiliki pengaruh besar pada jenis makanan yang terpilih untuk diumumkan oleh seseorang kepada teman-temannya.

Diharapkan, sistem ini akan membantu para peneliti untuk mempelajari komunitas di mana orang tidak memiliki akses yang secukupnya kepada makanan-makanan sehat.

Seperti ditulis tim tersebut, “Hasil dari kami memberi implikasi tentang bagaimana kesimpulan luas tentang status gizi dan kekurangan pangan di daerah-daerah berdasarkan media sosial dapat bermanfaat dalam meningkatkan deteksi ‘gurun’ pangan sehingga membantu mengurangi ketimpangan kesehatan.”

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.