Sukses

Peringatan Konten!!

Artikel ini tidak disarankan untuk Anda yang masih berusia di bawah

18 Tahun

LanjutkanStop di Sini

Apakah Tayangan Porno Bagus bagi Kita?

Penonton pornograf melaporkan adanya pergeseran cita rasa seksual, kurangnya kepuasan dalam hubungan maupun keintiman dalam kehidupan nyata.

Liputan6.com, Palo Alto - Apakah tayangan porno baik bagi kita? Pertanyaan yang dilontarkan selama puluhan tahun lamanya adalah, apakah kecabulan (porn) baik atau buruk bagi manusia? Apakah tidak bermoral atau malah memberdayakan? Menghancurkan atau membebaskan? Jawabannya tentu mengundang pertentangan pendapat.

Tapi yang belum ditanyakan adalah apa yang dilakukan kecabulan pada kita dan apakah kita baik-baik saja karenanya. Ada suatu penelitian yang mengatakan bahwa menonton tayangan cabul dapat menjurus kepada hasil yang tidak diinginkan baik bagi perseorangan maupun sebagai masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dikutip dari Psychology Today pada Kamis (3/3/2016), memang ada orang yang terkadang menonton kecabulan (pornografi) tapi tidak mengalami dampak sampingnya. Namun demikian, banyak orang—termasuk remaja dan pra-remaja dengan otak mereka yang masih plastis—malah secara kompulsif menggunakan internet kecepatan tinggi untuk mengakses tayangan porno, dan kemudian citarasa kecabulan mereka tidak lagi sejalan dengan seksualitas dalam kehidupan nyata. Ribuan orang muda sekarang ini berjuang menghadapi kecanduan yang meningkat.

Dalam penelitian perdana tentang hal ini oleh Max Planck Institute for Human Development di Berlin, Jerman, para peneliti menemukan, mencicipi kecabulan selama beberapa jam ataupun beberapa tahun berhubungan dengan pengurangan materi kelabu (grey matter) di bagian otak yang berhubungan dengan kepekaan akan ganjaran. Demikian juga dengan penurunan tanggapan terhadap foto-foto erotis.

Berkurangnya materi kelabu berarti berkurangnya hormon dopamin dan sedikitnya reseptor dopamin itu. Pimpinan penelitian, Simone Kühn, mengeluarkan hipotesa bahwa “konsumsi teratur akan kecabulan menggerus sistem ganjaran kita.”

Sampul terakhir majalah Playboy yang mengumbar ketelanjangan, edisi Januari/Februari 2016. (Sumber BBC)

Inilah salah satu alasan mengapa majalah Playboy tidak akan lagi menampilkan playmate (model utama di majalahnya) telanjang sejak awal 2016. Seperti kata Pamela Anderson yang terpampang dalam edisi terakhir yang masih berisi ketelanjangan, “Susah bersaing dengan internet.”

Penelitian terpisah di Jerman menunjukkan bahwa masalah bagi pengguna berkaitan erat dengan jumlah tab yang dibuka dan tingkat keterangsangan. Ini membantu menjelaskan mengapa sejumlah pengguna menjadi tergantung kepada kecabulan yang baru, yang lebih mengejutkan, ataupun lebih ekstrem.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Ketagihan Membuat Mati Rasa

Penelitian anyar oleh tim Cambridge University menemukan, para pria yang menunjukkan perilaku seksual yang lebih kompulsif memerlukan gambar-gambar seksual yang lebih banyak dan baru daripada pria lainnya karena mereka lebih cepat menjadi terbiasa dengan apa yang mereka lihat.

Penelitian lain—juga dari Cambidge University—mendapati, mereka yang memiliki perilaku seksual yang kompulsif menunjukkan perilaku kecanduan yang sebanding dengan kecanduan narkoba pada susunan otak limbiknya setelah menonton pornografi.

Ada perbedaan antara dorongan seksual dan tanggapan mereka terhadap kecabulan. Para pengguna secara salah percaya bahwa kecabulan yang sangat merangsang sebagai seksualitas mereka yang sebenarnya. Yang artinya mereka menganggap, semakin sering mereka terekspos pornografi, semakin baik seksualitas mereka.

Mungkin bukan kebetulan bahwa penonton pornografi melaporkan adanya pergeseran cita rasa seksual, kurangnya kepuasan dalam hubungan maupun keintiman dalam kehidupan nyata, dan juga persoalan keterikatan.

Banyak kaum muda secara khusus berkeluh kesah tentang bagaimana pornografi telah memberikan pandangan yang melantur dan tidak realistis tentang seks dan keintiman yang seharusnya. Mereka juga kesulitan untuk tertarik dan terangsang kepada pasangan di dunia nyata.

Ilustrasi seseorang yang ketagihan pornografi online. (Sumber Huffington Post)

Malahan, bagi banyak di antara mereka, urusan seksual dunia nyata malah asing dan menjadi pengalaman yang menimbulkan kecemasan. Penyebabnya, pada dunia nyata, ada keharusan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan pasangannya. Seluruh tubuh mereka harus terlibat dan mereka harus melakukan interaksi dengan manusia tiga dimensi sungguhan yang memiliki kebutuhan seksual dan romantis juga.

Ada contoh kasus dalam buku 'Sex at Dawn':

Di jaman dulu, seorang pria didakwa menggigit jari pria lain dalam suatu perkelahian. Seorang saksi mata maju. Pengacara pembela bertanya, “Apakah kamu memang melihat klien saya menggigit jari itu?” Jawab saksi itu, “Oh, tidak, saya tidak melihatnya.”

Kata pembela dengan tersenyum, “Aha! Lalu bagaimana kamu bisa mengatakan bahwa ia menggigit jari pria tersebut?” Jawab saksi, “Saya melihatnya meludahi jari itu keluar dari mulut.”

Anggaplah kisah itu dalam konteks orang muda yang menonton pornografi secara daring. Dampak kecanduan daring (online porn) pada otak dan perilaku memang belum sepenuhnya diketahui, namun belum pernah sebelumnya dalam sejarah manusia di mana kaum pria muda mengalami gejala yang disebut sebagai lemah syahwat karena kecabulan (porn-induced erectile dysfunction, PIED) seperti yang sekarang banyak terjadi.

Dalam suatu penelitian komprehensif perdana tentang perilaku kaum pria di AS yang digelar oleh Alfred Kinsey pada 1948, hanya 1 persen dari kaum pria usia di bawah 30 tahun dan 3 persen berusia 30-45 tahun yang mengaku mengalami gangguan ereksi (erectile dysfunction, ED). Hasil penelitian dilaporkan dalam buku ‘Sexual Behavior in the Human Male’.

Namun demikian, dalam penelitian baru, lebih dari 1/3 pria militer dilaporkan mengalami ED. Penelitian lain menemukan hasil yang mirip pada pria non-militer di seluruh dunia dan semakin kerap setelah meluasnya pornografi yang bisa diakses dengan internet berkecepatan tinggi.

3 dari 3 halaman

Perlu Pertolongan dan Panduan

Untuk keperluan buku baru berjudul ‘Man Interrupted’, telah ada wawancara dengan sejumlah pria muda perihal kekhawatiran mereka akan pornografi dan bagaimana jarangnya panduan menghadapi melimpahnya pornografi yang bisa mereka akses.

Sentimen yang umum di antara mereka adalah, “Saya ingin mendengar lebih banyak lagi ahli psikologi yang menyadari bahwa ketagihan pornografi pada beberapa tingkat keparahan. Kalau sudah demikian, rasa pesimis saya berkurang untuk menceritakan kepada para psikolog itu tentang masalah-masalah saya.”

Mereka juga bicara tentang wilayah lain kehidupan mereka yang ikut terdampak karena menonton banyak sekali pornografi, misalnya konsentrasi dan kesehatan emosi. Mereka merasakan pergeseran besar yang positif dalam kehidupan pribadi dan cara pandang mereka setelah berhenti melakukan masturbasi tontonan cabul.

Ilustrasi pria muda sedang melakukan masturbasi sambil menikmati pornografi online. (Sumber newhealthadvisor.com)

Pria-pria muda ini kerap bercerita bagaimana kecemasan sosial mereka diperbaiki secara drastis—misalnya peningkatan rasa percaya diri, kontak mata, dan kenyamanan berinteraksi dengan wanita. Mereka juga melaporkan lebih bertenaga mengarungi kehidupan harian mereka, lebih mudah konsentrasi, lenyapnya depresi, ereksi yang lebih kuat dan kepekaan seksual setelah secara sukarela mengikuti tantangan ‘no fap’ yang dimaksudkan untuk mengatasi ketagihan.

Nilai kecabulan perorangan memang bisa berbeda, tapi muncul lebih banyak lagi penelitian yang menengarai, para pengguna kecabulan menderita dampak yang menghancurkan.

Namun demikian, jika kita selama ini terus berkelit dari kenyataan bahwa kecabulan bisa menjadi masalah bagi sejumlah orang, kita malah menghalangi bantuan dan panduan kepada mereka, yang kebanyakan masih berada di bawah umur.


***Saksikan Live Gerhana Matahari Total, Rabu 9 Maret 2016 di Liputan6.com, SCTV dan Indosiar Mulai Pukul 06.00 - 09.00 WIB. Klik di sini.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini