Sukses

IDI Anggap Tak Perlu Ada Dokter Layanan Primer

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersikeras menolak konsep pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP).

Liputan6.com, Jakarta ‎Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bersikeras menolak konsep pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP). Program ini dianggap akan memberatkan calon dokter dan merendahkan serta meragukan kompetensi dokter umum di layanan primer.

Seperti disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, Sp.OG , kompetensi dokter umum saat ini sudah cukup. Yang perlu diperhatikan kini justru bagaimana menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang dapat melayani masyarakat dengan sarana dan prasarana yang memadai.

"DLP akan menimbulkan permasalahan baru yang dapat merugikan masyarakat di pelayanan kesehatan," katanya saat temu media di Kantor IDI, Jakarta, Kamis (10/12/2015).

Menurut Marsis, untuk mendirikan program pendidikan yang baru, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dan ini adalah kewenangan profesi untuk menjalankannya.

"PB IDI memahami tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan amanah UU Pendidikan Kedokteran, namun kami meyakini pemerintah akan mempertimbangkan keputusan hasil Muktamar IDI. Kami juga akan menempuh langkah hukum lain yang dirasa perlu dan sesuai peraturan perundangan‎ serta langkah strategis lainnya," katanya.

Ketua Bidang Kajian Pendidikan PB IDI, Mohammad Akbar menerangkan pendidikan kedokteran saat ini telah diatur dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) 2012 yang merupakan amanah dari Undang-undang praktik kedokteran. Program ini baru berjalan pada 2013 dan lulus paling cepat 6 tahun.

"SKDI paling cepat pendidikan akademik 4 tahun ‎dan profesi 2 tahun. Setidaknya mereka baru lulus pada 2019. Jadi tidak wajar bila dokter ini disebut tidak kompeten karena adanya DLP ini," katanya.

Pada SKDI, kata Akbar, ada 736 pokok pelajaran dengan level kompetensi yang berbeda. Mereka dilatih untuk mengatasi 144 penyakit sampai level 4. Sedangkan DLP, butuh kemampuan dokter dalam mengatasi 155 penyakit.

"Hanya kurang 11 kompetensi penyakit. Mengapa harus sampai buka program pendidikan baru sementara dosen di Fakultas Kedokteran kurang, dan isi materinya tidak sampai 10 persen. Kenapa tidak 11 ini dititipkan pada pendidikan di Fakultas Kedokteran supaya SKDI menjadi sempurna dan pelayanannya meningkat," ujarnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.