Sukses

Antara Mindfullness dan Trance

Bila kesadaran digambarkan sebagai satu garis kontinum maka mindfulness dan trance berada di masing-masing ujung ekstrem.

Liputan6.com, Jakarta Bila kesadaran digambarkan sebagai satu garis kontinum maka mindfulness dan trance berada di masing-masing ujung ekstrem. Mindfulness dan tranceadalah dua kondisi kesadaran yang berbeda dan selama ini tidak bisa disandingkan.

Istilah mindfulness, dalam bahasa Inggris, berasal dari kata Pali, sati, yang artinya kesadaran, perhatian, ingatan, pengenalan, kejernihan pikiran. Sedangkan trance, atau lengkapnya hypnotic trance, adalah kondisi kesadaran yang berbeda dengan kondisi sadar normal (altered state) yang dialami oleh seseorang melalui bimbingan terapis. Hypnotic trance sendiri terdiri atas banyak lapis kesadaran.

Perbedaan mendasar antara kondisi mindful dan trance terletak pada kesadaran yang aktif pada satu saat. Individu yang mindful sadar akan apa yang ia alami, rasakan, pikirkan, dan apa yang terjadi di sekelilingnya. Pikirannya benar-benar sadar. Sebaliknya kondisi tidak mindful seperti pikiran melayang ke masa lalu atau masa depan, mengunci pintu namun tidak ingat telah melakukannya, tidak ingat apakah sudah mematikan lampu atau belum, diajak bicara seseorang kemudian anda lupa apa yang baru dibicarakan, atau mengendarai mobil atau sepeda motor dan tanpa disadari telah tiba di tujuan, mencari kunci dan tidak menemukannya padahal kunci ada di depan mata, semua ini masuk dalam kategori trance.

Kondisi trance memang sangat berbeda dengan kondisi mindful. Mindfulness merujuk pada perhatian yang netral terhadap pengalaman yang dialami oleh individu dari waktu ke waktu (Kabat-Zinn, 1990/2005). Sedangkan Brown dan Ryan (2003) mendefiniskan mindfulness sebagai kondisi kesadaran penuh perhatian pada apa yang sedang terjadi di saat sekarang.

Dalam kondisi trance, individu melepas kendali atas fungsi kritis pikirannya, lepas dari fungsi pengawasan kekinian pengalaman, dan teregresi ke proses berpikir primer di mana terdapat kebebasan dan keleluasaan pikiran dalam memunculkan berbagai bentuk gambaran mental, daya khayal, menerima segala sesuatu yang sebelumnya tidak rasional menjadi rasional, dan individu mengalami fenomena trance logic (Orne, 1959).

Para praktisi mindfulness sangat menghindari kondisi tidak mindful yang dijelaskan sebelumnya. Kondisi tidak mindful sangat tidak baik dan bisa merugikan.

Ditinjau dari perspektif terapi, baik mindfulness dan trance masing-masing memiliki manfaat terapeutik. Keduanya dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk kebaikan individu tentunya dengan mengikuti prinsip yang berlaku untuk kedua kondisi kesadaran ini.

Dalam terapi berbasis mindfulness klien dilatih untuk hanya melakukan pengamatan, menyadari, mengetahui, dan menerima aliran pengalaman dari waktu ke waktu, membiarkan pengalaman itu bergulir apa adanya, tidak masuk dan terlibat di dalam pengalaman itu, tidak melakukan pembatasan pada bentuk pikiran, perasaan, dan perilaku tertentu. Klien tidak dibimbing oleh terapis, klien tidak menerima sugesti tertentu, klien tidak masuk ke dalam kejadian atau pengalaman dan memrosesnya. Intinya, klien menerima apapun yang ia rasakan atau alami dengan hanya menyadari pengalamannya.

Dengan demikian mindfulness mendorong pergeseran perhatian secara global, menggantikan perhatian yang sebelumnya melekat erat pada pengalaman, perasaan, bentuk pikiran tertentu.

Mindfulness, menurut Sri Paññavaro Mahathera, dapat dilatih melalui metode meditasi. Salah satunya dengan memerhatikan napas, atau dengan mengamati pengalaman dan bagaimana pengalaman itu berlangsung tanpa memberikan pemaknaan, menghakimi, menilai, memberi nama atau label, melibatkan emosi, atau berusaha dengan sesuatu cara mengubah pengalaman itu. Mindfulness juga dapat dipraktikkan dan dilatih secara informal dalam keseharian dengan mengembangkan kesadaran menerima pengalaman internal maupun eksternal. Dalam berlatih meditasi, para meditator berlatih untuk selalu sadar, menyadari apapun yang ia rasakan, alami, pikirkan, atau yang terjadi di sekitar.

Keefektifan dan manfaat mindfulness dalam konteks klinis terletak pada kemampuan kesadaran memutus response set yang mengendalikan diri individu. Response set adalah pola asosiasi terkondisi yang memfasilitasi pola perilaku, pola pikir, dan respon individu terhadap stimulus atau situasi tertentu. Response set dapat diaktifkan baik oleh stimuli internal maupun eksternal, seperti sugesti dan beragam sinyal yang berasal dari lingkungan.

Mindfulness dapat memutus respon perilaku otomatis yang selama ini menguasai diri seseorang, baik disadari atau tidak, dan membuat individu menjadi sadar akan pola perilaku maladaptif yang ia alami atau lakukan.

Pelatihan mindfulness pada klien akan memampukan klien menyadari dan menangkap pola perilaku yang relatif otomatis dan reaktif menjadi respon yang lebih terkendali (Teasdale, Segal, dan Williams, 2003).

Dengan lebih menggiatkan kesadaran tanpa kondisi, tidak menghakimi, mindfulness mengaktifkan proses perhatian pengawasan diri dan memberdayakan klien dalam membuat pilihan dan keputusan akan respon yang lebih adaptif dan konstruktif menggantikan respon maladaptif yang selama ini ia alami.

Kesadaran yang menjadi landasan mindfulness terhadap pengamatan pasang surut pengalaman mencipta fondasi terapi dalam mengatasi pengaruh pikiran yang sifatnya mengganggu, bias kognitif, dan berbagai pengkondisian yang terjadi di masa sebelumnya yang menjadi penyebab masalah emosi dan perilaku maladaptif.

Contohnya, individu yang sebelumnya akan marah besar saat mendapat kritik, dengan melatih mindfulness, ia dapat menyadari munculnya kemarahan, dapat mengamati kemarahan ini tanpa turut larut di dalamnya, dan selanjutnya mampu memilih opsi respon yang lebih konstruktif menggantikan respon marah (maladaptif).

Melatih mindfulness tentu butuh upaya serius dan berkelanjutan. Kita jarang bisa dalam kondisi mindful. Pikiran kita biasanya dipenuhi berbagai bentuk pikiran yang mengganggu atau sibuk memberi pendapat atas apa yang sedang terjadi pada satu saat.

Kendala yang sering dialami praktisi mindfulness dalam melatih diri adalah pengaruh emosi intens, yang tersimpan di pikiran bawah sadar, yang dengan sangat cepat menguasai diri individu sehingga yang terjadi bukannya mindfulness tapi mind-full-ness di mana pikiran (mind) dipenuhi berbagai bentuk pikiran (thought) yang sangat mengganggu karena adanya emosi intens yang menyertai bentuk-bentuk pikiran ini.

Untuk bisa masuk kondisi trance maka seseorang justru tidak boleh dalam kondisi mindful atau awas dan waspada. Mindful adalah ranah kerja dan aktivitas pikiran sadar dan trance adalah ranah pikiran bawah sadar. Ini adalah dua pikiran yang sangat berbeda fungsi dan cara kerjanya.

Praktisi mindfulness yang ingin masuk trance perlu melepas, untuk sementara waktu, kondisi pikiran yang mindful dan mengikuti bimbingan terapis.

Saat mindful kendali pikiran atas fungsi kritis menjadi sangat kuat. Terapis sangat sulit atau tidak bisa membimbing klien menembus faktor kritis pikiran sadarnya yang menjadi syarat mutlak untuk masuk kondisi trance.

Itu sebabnya para meditator biasanya mengalami kesulitan untuk masuk kondisi trance dengan bimbingan terapis. Sebenarnya, saat mereka melakukan meditasi dan benar-benar fokus pada objek meditasi maka mereka juga masuk kondisitrance. Bedanya, saat mereka dibimbing oleh terapis, pikiran sadar mereka akan terus mengamati atau menyadari apapun yang diucapkan oleh terapis. Ini yang membuat mereka sulit masuk kondisi trance.

Trance adalah kondisi di mana fungsi kritis pikiran sadar berhasil ditembus dan individu masuk ke pikiran bawah sadar untuk menemukan kejadian, peristiwa, pengalaman traumatik, atau berbagai program pikiran (imprint) yang menjadi akar masalah gangguan perilaku. Selanjutnya, bisa dengan bantuan terapis atau melakukannya sendiri, dengan teknik yang sesuai, akar masalah ini diproses hingga terjadi resolusi trauma menyeluruh dan tuntas. Masalah dikatakan telah selesai diproses saat emosi yang sebelumnya melekat pada pengalaman itu berhasil dinetralisir dan terjadi pemaknaan baru.

Dari uraian di atas tampak dua perbedaan mendasar aplikasi mindfulness dan trance dalam mengatasi masalah. Dalam terapi berbasis mindfulness yang dikembangkan adalah kesadaran mengamati, menerima, tidak masuk ke dalam pengalaman, terjadi pemisahan tegas antara diri pengamat dan pengalaman (disosiasi). Dan untuk bisa melakukan disosasi dengan baik dibutuhkan tidak hanya kekuatan kehendak, kekuatan konsentrasi, namun juga energi psikis yang besar untuk terus mempertahankan kondisi disosiasi.

Apabila individu tidak kuat dalam mempertahankan kondisi disosiasi ini dan masuk atau tertarik masuk ke dalam pengalaman yang sedang diamati maka ia dapat mengalami trauma ulang dan ini akan semakin memperburuk kondisinya.

Saat individu dapat melakukan pengamatan, hanya mengamati saja, terhadap kejadian atau pengalaman maka kekuatan cengkeraman dan pengaruh kejadian itu pada diri individu menjadi sirna. Emosi yang tadinya sangat intens melekat pada pengalaman semakin lama menjadi semakin lemah hingga akhirnya runtuh dan pengalaman itu hanya menjadi satu bentuk memori yang netral.

Hal yang berbeda terjadi dalam pemanfaatan trance untuk (hipno)terapi. Saat seseorang dalam kondisi trance, saat fungsi kritis pikiran sadar untuk sementara waktu tidak bekerja, ia dapat leluasa masuk ke pikiran bawah sadar, mengakses dan mengalami kembali (asosiasi) berbagai pengalaman yang mengganggu hidupnya (revivifikasi) dan memroses pengalaman ini hingga tuntas. Namun, dari pengalaman klinis, sebaiknya untuk memroses kejadian dengan muatan emosi yang intens hanya dilakukan dengan bantuan terapis, jangan dilakukan sendiri karena seringkali saat emosi muncul dan sepenuhnya dirasakan oleh individu kendali atas proses yang sedang ia alami menjadi lemah dan dapat berpengaruh buruk pada dirinya.

Mindfulness dan trance dapat digunakan, secara gabungan, untuk mengatasi respon maladaptif dan membangun respon adaptif yang baru. Kedua kondisi kesadaran ini berbeda namun memiliki kesamaan, dalam konteks terapi, yaitu keduanya dapat mengubah perhatian atau persepsi untuk mencapai goal terapeutik.

 

DR. Adi W. Gunawan, CCH.


President of Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology

Indonesia Leading Expert in Mind Technology

President of Asosiasi Hipnoterapi Klinis Indonesia (AHKI)

www.AdiWGunawan.com

Facebook: Adi W Gunawan

Twitter : @adiwgunawan

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini