Sukses

6 Masalah Kesehatan yang Jadi `PR` pada 2014

Bila tidak diantisipasi, hal ini akan menyebabkan goncangan, keluhan, ekslopitasi ketidakpuasan, campur aduk politik dan teknis kesehatan.

Sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa 2014 akan terjadi berbagai masalah khususnya di bidang kesehatan. Para pakar menilai, untuk masalah program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) saja bila tidak diantisipasi, hal ini akan menyebabkan goncangan, keluhan, ekslopitasi ketidakpuasan, campur aduk politik dan teknis kesehatan.

Tapi kemudian apa saja yang sebenarnya bisa menjadi masalah di 2014 terkait kesehatan? Berikut penjelasan Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH yang ditemui beberapa waktu lalu, seperti ditulis Kamis (26/12/2013):

1. Keluarnya Perpres (Peraturan Presiden nomor 12/2013)

Perpres ini berisi tentang Jaminan Kesehatan tanpa ada iuran. Padahal mestinya, perpres tersebut termasuk besaran iuran. Hasbullah mengatakan, adanya negoisasi alot dengan pemerintah (Kementerian keuangan) yang pada awalnya hanya mau mengalokasikan Rp 10.000 per orang per bulan akhirnya naik menjadi Rp 15.500 dan akhirnya kini disepakati menjadi Rp 19.225 setelah kenaikan BBM.

"Tapi dengan besarnya iuran yang dibayar pemerintah, tetap saja tenaga kesehatan harus bekerja rodi. Dampak buruknya adalah bahwa pengusaha ingin juga menurunkan kualitas jaminan kesehatan untuk pekerjanya dengan iuran tidak naik seperti untuk JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan) Jamsostek dan dengan batas upah (ceiling) hanya dua kali PTKP (Penghasilan tidak kena pajak) untuk keluarga dengan satu anak," katanya.

Namun akhirnya, segala peraturan tentang pelaksanaan JKN, baik PP, Perpres dan Permenkes selesai bulan Desember ini. "Terlambat memang tapi masih lebih baik daripada tidak selesai.

2. Besaran kapitasi dan CBG belum selesai

Hasbullah menganggap, keputusan Menteri Keuangan tentang asoasiasi fasilitas kesehatan, besaran kapitasi (metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan ketika penyedia layanan dibayar dalam jumlah tetap per pasien tanpa memerhatikan jumlah atau sifat layanan yang diberikan) dan besaran INACBG's (sistem tarif yang mencakup seluruh jenis perawatan pasien) yang belum sesuai dengan harapan para tenaga kesehatan.

"Bayaran kapitasi puskesmas yang bervariasi antara Rp 3.000-Rp6.000 sudah lebih baik, tetapi belum mampu meningkatkan kualitas. Sementara bayaran kapitasi dokter atau klinik sebesar Rp 8.000-Rp 10.000 masih jauh di bawah harga keekonomian yang akan menimbulkan kualitas layanan JKN inferior," ungkapnya.

Pada akhirnya, Hasbulah khawatir bahwa nanti pada 2014 hanya dokter dan klinik swasta yang kurang laku atau kurang berkualitas yang akan bergabung dengan JKN.

Selain itu, pembayaran CBG (Case Based Groups) yang masih cenderung berpihak ke rumah sakit besar milik Kemenkes dan menyamakan besaran CBG untuk rumah sakit milik pemerintah dan milik swasta. Ini merupakan pembayaran yang tidak adil.

"Diperkirakan sebagian besar rumah sakit swasta, pencari laba atau bukan akan 'wait and see' sebelum kontrak dengan JKN. Dan ini akan menimbulkan risiko panjangnya antrian di fasilitas kesehatan milik pemerintah," jelasnya.

3. Keluarnya keputusan Menteri Kesehatan yang Tidak menyertakan IDI/PDGI/IAI sebagai kunci sukses

Keberhasilan JKN, sebagaimana dirancang dalam undang-undang SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) adalah peran adil dan seimbang antara BPJS Kesehatan dengan para pemberi layanan kesehatan di berbagai fasilitas kesehatan. Sayangnya, keluar putusan Menteri Kesehatan nomor 455 yang tidak mengikutsertakan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) dan IAI (Ikatan Akuntan Indonesia) sebagai wakil kunci sukses JKN.

"Padahal ketika UU SJSN disusun, yang dimaksudkan dengan Asosiasi Fasilitas Kesehatan adala IDI, PDGI, IAI, IBI (Ikatan Bidan Indonesia) dan Persi (Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia). Dan sama sekali tidak diantisipasi akan ada organisasi baru seperti Asklin (Asosiasi Klinik Indonesia), PKFI (Perhimpunan Klinik & Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Indonesia) dan Adinkes (Asosiasi Dinas Kesehatan). Ini harus segera dikoreksi Menteri Kesehatan.

4. Terbitnya kartu BPJS Kesehatan

Hal lain yang telah diselesaikan tapi tidak sesuai dengan rancangan awal undang-undang SJSN dan undang-undang BPJS adalah akan terbitnya kartu BPJS kesehatan. Hasbullah menilai, ini menunjukkan masih tingginya ego sektoral.

"Seharusnya kartu peserta bertuliskan 'Republik Indonesia-Kartu Jaminan Kesehatan'. Istilah dan fokus sosialisasi juga tidak seragam. Kemenkes mengiklankan JKN yang paling konsisten, dengan istilah JKN, istilah yang dianggap paling pas, mudah dipahami dan paling lazim sedunia. Sementara PT. Askes mengiklankan dirinya sendiri sebagai BPJS kesehatan, PT. Jamsostek mengiklankan BPJS Ketenagakerjaan dan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) yaitu SJSN. Berbagai istilah ini yang akhirnya membuat tanda tanya bagi publik umum," jelas Hasbullah.

5. Adanya pemaksaan nomor izin edar (NIE) obat generik

Formularium Nasional (Fornas) memang telah keluar tepat waktu tapi Hasbullah justru melihat ada pemaksaan nomor izin edar obat edar pada tatanan E-catalog.

"Seharusnya apapun nama dagang obat, sesuai molekul zat aktif yang keluar dalam Fornas boleh ikut tender dalam E-catalog. Hal ini menimbulkan kesan bahwa JKN hanya akan menyediakan obat generik. Padahal, E-catalog berlaku untuk pengadaan publik oleh lembaga pemerintah. Dokter, klinik dan rumah sakit yang telah dibayar secara kapitasi dan CBG bebas membeli obat merek apapun sesuai kesanggupan dan pilihan mereka," terangnya.

6. Program Jampersal masih belum berhasil

Pemerintah dan berbagai pihak cukup dikejutkan dengan tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang mencapai 359 per 10.000 kelahiran hidup. Ini jauh dari target MDG 5 yang harus dicapai sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

"Program Jampersal (Jaminan Persalinan) telah diluncurkan sejak 2011 yang secara teoritis bisa menekan angka kematian ibu tapi ternyata pemerintah hanya menganggarkan sekitar Rp 1 triliun dan gagal menyelamatkan ibu-ibu dari kematian. Sementara pemerintah dan partai sibuk mempertahankan subsidi BBM dan listrik yang tidak mematikan penduduk dan menghabiskan lebih dari Rp 200 triliun. Bila dibiarkan, maka indikator AKI akan terancam tetap tinggi," tegas Hasbullah.

(Fit/Mel)

*Bagi Anda yang ingin mengetahui hasil ujian CPNS 2013 silakan klik di cpns.liputan6.com


Baca juga:

Perbedaan Asuransi Sosial dan Komersial

Angka Kematian Bayi di Indonesia Masih Tinggi, Apa Sebabnya?

Pemilik KJS di Jakarta Tidak Bisa Dobel Klaim Kalau Ada JKN

Sistem Layanan Kesehatan Berjenjang dalam JKN, Apakah Itu?

Begini Cara Daftar JKN untuk Peserta Perorangan!

Kisruh di Bidang Kesehatan Bakal Banyak di 2014

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • JKN adalah singkatan dari Jaminan Kesehatan Nasional.

    JKN

  • BPJS Kesehatan merupakan salah satu badan hukum yang bertugas menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi masyarakat Indonesia.

    BPJS Kesehatan

Video Terkini