Sukses

Kualitas Dokter Indonesia Buruk? Inikah Penyebabnya

Selain mahal, pendidikan kedokteran di Indonesia dinilai masih kurang kontrol baik dari pemerintah maupun dari masyarakat.

Selain mahal, pendidikan kedokteran di Indonesia dinilai masih kurang kontrol baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. hal ini menyebabkan kualitas dokter di Indonesia menurun dari tahun ke tahun.

Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Dr. Zaenal Abinin saat diskusi bulanan yang bertemakan 'Mau Dibawa Kemana Pendidikan Dokter di Indonesia', Selasa (24/9/2013). Ia menyampaikan bahwa rendahnya kualitas pendidikan dokter di Indonesia juga datang dari Asosiasi Institusi Pendidikan kedokteran Indonesia (AIPKI).

Selain itu ada beberapa hal juga yang membuat kualitas dokter di Indonesia semakin  memburuk, seperti:

1. Masih ada 2.500 lulusan dokter gagal ujian kompetensi

Fakta bahwa IDI yang melakukan pendampingan bagi sekitar 2.500 lulusan dokter, hingga saat ini mereka belum mendapatkan sertifikasi kompetensi. Lulusan dokter tersebut dinilai gagal lulus dalam Uji Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI)

2. Tingginya kuota melalui jalur undangan

Hal ini terkait dengan tingginya kuota penerimaan mahasiswa baru melalui jalur Undangan berdasarkan nilai Rapor.

Menurut pengamat pendidikan, Dr. Dharmayuwati pane, MA, sesuai  dengan Pasal 53 B Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 disebutkan bahwa satuan pendidikan tinggi wajib menjaring peserta didik baru program sarjana melalui pola penerimaam secara nasional (SNMPTN) paling sedikit 60 persen dari jumlah peserta didik baru yang diterima.

"Dan mulai 2013 lalu, SNMPTN hanya menggunakan mekanisme jalur Undangan berdasarkan prestasi akademik selama di SMA. Jalur undangan ini membuat sekolah mengambil nilai terbaik," kata Dharmayuwati.

Dharmayuwati juga menyampaikan, hal ini membuat sekolah termotivasi untuk mengobral nilai. Sekolah bisa saja memanipulasi nilai demi meningkatkan keterserapan alumninya di perguruan tinggi favorit. Belum lagi masalah kebocoran UN. Hal ini tidak hanya terjadi di fakultas Kedokteran.

4. Banyak Fakultas Kedokteran tidak imbang dosen dan peserta didiknya

Dharmayuwati menilai, mendirikan sebuah Fakultas Kedokteran butuh biaya besar juga sarana dan prasarana yg besar pula.  Inilah yang sering dijadikan alasan besarnya biaya pendidikan kedokteran.

"Tidak tersedianya beasiswa dari pemerintah mengakibatkan peserta didik kedoketran secara perlahan berpihak pada kaum menegah atas, sedangkan kaum menengah bawah hanya bermimpi saja," ujarnya.

Imbasnya, peserta didik, disebutkan Dharmayuwati bisa cenderung berorientasi pada kepentingan bisnis. Untuk biaya kuliah kedokteran per semesternya bisa mencapai Rp 60-70 juta. Biaya ini tidak sebanding jika peserta kuliah di FKUI, yang hanya dipungut bayaran Rp 6-7 juta per semester.

5. Masalah perizinan

Selain masalah biaya, masalah perizinan juga disampaikan  Dharmayuwati belum baik. Masih banyak Fakultas Kedokteran swasta yang berdiri atas izin Kemendiknas (Kementerian Pendidikan Nasional) saja, padahal belum memiliki fasilitas yang memadai.

"Tidak adanya pengawasan yang komperhensif, sehingga perizinan dilihat dari sudut administratif. Padahal pada pelaksanaannya peserta didik tidak mendapat fasilitas yang sesuai,"ungkapnya.

6. Persaingan yang ketat

Persaingan masuk Fakultas Kedokteran yang ketat bisa dilihat dari peserta yang ingin masuk FKUI tahun 2013 lalu yang mencapai 2994 orang untuk memperoleh 45 kursi.

"Rasionya 1,5 persen. Ini berarti, hanya ada 1 orang yang diterima dari 100 peserta yang memilih FKUI," tambah Dharmayuwati.

(Fit/

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini