Sukses

Ketika Anak Autis Pergi Haji Sendiri

Anak penyandang autism ini bisa berangkat haji sendiri, sekarang menjadi chef dan jago kungfu

Ketika seseorang menyebut 'autis', tak sedikit yang berpandangan miring terhadap para penyandang autisme. Meski berbeda, anak-anak penyandang autisme sejatinya memiliki tingkat inteligensia di atas rata-rata. Bahkan, tak sedikit anak-anak penyandang autisme masuk ke dalam kategori jenius.

Tapi, tahukah Anda, kalau seorang anak penyandang autisme mampu berangkat ke Tanah Suci Mekkah untuk menunai ibadah Haji seorang diri? Bahkan dia lulus sekolah chef dan pernah bertanding kungdu di Cina.

Itulah yang dialami Audwin Trito (23), putra semata wayang Ketua Masyarakat Peduli Autis (MPATI) Gayatri Pamoedji (51). Kepada Liputan6.com, Selasa (2/4/2013), ia menceritakan apa yang dialami oleh putra kesayangannya itu.

Audwin lahir pada tanggal 6 November 1990. Sampai ia berusia 18 bulan, menurut Gayatri, semuanya tampak baik-baik saja. Sampai pada satu titik ia menyadari ada keanehan yang terjadi pada putranya tersebut. "Kalau dipanggil ia tidak mau ngelihat. Dan hiperaktifnya ngga ada duanya," cerita Gayatri.

Melihat keanehan tersebut, membuat Gayatri terus memeriksakan anaknya ke dokter. Sesampainya di dokter, sang dokter malah mengatakan kalau bahwa anaknya mengalami hal tersebut karena ibunya seorang wanita karir. Karena kebetulan, pada saat itu dirinya memiliki perusahaan sendiri.

"Pada saat itu tidak ada yang tahu soal autisme, termasuk dokter. Dan dokter itu yang terbaik ada di Jakarta," tambahnya.

Seiring berjalannya waktu, Gayatri terus berusaha mencari apa yang terjadi pada anaknya. Mana pada saat itu, Audwin semakin hiperaktif dan tidak bisa ngomong sama sekali. "Kalau pun ngomong suka ngga jelas, hanya satu kata," terangnya.

Pada akhirnya, Gayatri memutuskan membawa anak kesayangan itu berobat ke Eropa. Di Eropa, ia terus mencari tahu apa yang terjadi pada anaknya. Tapi, para dokter yang ditemuinya selalu berujar kalau terlalu kecil untuk mendiagnosa apa yang terjadi pada anaknya. Karena statusnya yang masih tak jelas, Gayatri putuskan pulang ke Tanah Air.

Ternyata Tuhan punya rencana lain untuk Gayatri. Setelah kepulangannya ke Indonesia, ia mendapatkan kabar bahwa ada tim di Australia yang bisa membantu dirinya dan mengetahui kalau ternyata anaknya menyandang autisme.

Pada saat bersamaan pula, Gayarti membangun sekolah pertama untuk anak-anak ADHD di Indonesia. Dari situlah ia melihat bagaimana caranya membantu anak-anak dengan autisme.

Dengan berjalannya waktu, Gayatri dan suami memutuskan untuk pindah dan meninggalkan semuanya. Audwin mendapatkan pendidikan yang semestinya, dan tidak lupa Gayatri membawa Audwin untuk terapi perilaku, okupasi, dan wicara. "Semuanya berkembang pesat. Sampai pada satu titik di mana orang-orang tidak ada yang percaya kalau Audwin autis," jelas wanita yang tampak awet muda ini.

Rasa tidak percaya itu dikarenakan Audwin sangat baik dalam membawa dirinya, dan cara dia mengikuti arus selayaknya anak-anak normal lainnya. Selain itu, buku yang dipilih Audwin pun tergolong berat. Yang menjadi favorit anaknya tersebut antara lain cerita sejarah, para panglima perang, dan orang-orang Hebat.

Audwin sendiri memiliki hobi masak. Di usianya yang masih tergolong muda, ia mampu lulus sebagai chef dari sekolah khusus chef di Australia. "Alhamdulillah dia sudah lulus dan sudah bekerja, sudah memiliki nafkah, dan sudah mampu hidup sendiri," puji penulis Surat MPATI dari Anak Autis untuk Para Satpam.

Di mata Gayatri, Audwin adalah sosok anak yang benar-benar dapat dibanggakan. Pantas rasanya apabila anak laki-laki yang pernah bertanding Kungfu di China seorang diri ini sangat disayang oleh kedua orangtunya.

"Perlu kamu tahu, Audwin di usianya yang segitu, sudah bisa menasihati orangtuanya kalau ada perkataan atau perbuatan yang dirasa tidak pas olehnya," cerita Gayatri.

Yang lebih mencengangkannya lagi adalah, pada saat November 2012, Audwin mampu berangkat haji seorang diri. Gayatri menceritakan, kalau awalnya Audwin akan pergi bersama om-nya, Iwan. Hanya saja, di akhir-akhir menuju keberangkatan, ternyata visa Iwan tidak keluar. Jadi, Audwin berangkat sendiri selama 24 hari, dengan ONH yang menurut ibunya tidak plus-plus banget.

Gayatri sendiri merasa heran, bagaimana mungkin anaknya yang dulu memiliki keterbatasan dalam berbicara, dan tidak bisa berbahasa Indonesia dengan baik pergi seorang diri ke Mekkah.

Sebelum anaknya pergi, Gayatri bilang, "Mas, Om Iwan tidak bisa berangkat, kamu bagaimana? Pertama, kamu kan tidak bisa bahasa Indonesia." Betapa kagetnya Gayatri ketika mendengar jawaban dari sang anak atas pertanyaan yang diajukan olehnya.

"Ma, di masa-masa lalu banyak mukjizat yang terjadi di diri saya. Siapa tahu pas naik haji ini ada mukjizat-mukjizat lainnya untuk saya," kata Gayatri menirukan jawaban dari Audwin.

Sang Ustadz yang mendampingi Audwin di Tanah Suci merasa kagum dan terkaget-kaget dengan apa yang dilakukan anak tersebut di sana. Sang Ustadz berujar kalau Audwin termasuk anak yang anteng, sangat sederhana. "Kalau mau makan, enak ngga enak, ya dihabisin saja. Kalau tidur ada yang kurang pas, ya ngga papa. Toh, menurut Audwin ini juga sesaat," tambahnya.

Suka Duka Memiliki Anak Autis

Gayatri dan suami hanyalah manusia biasa. Pasangan mana yang mau dikarunia seorang anak dengan kekurangan. Tapi, bersyukurlah Gayatri dan suami menerima dengan lapang dada, apa yang diberikan Tuhan kepadanya.

Selama mengurus Audwin, pasti ada suka duka yang dilaluinya. Menurut wanita yang aktif di MPATI ini yang bikin stres bukanlah anak itu sendiri, melainkan reaksi orang-orang di sekelilingnya.

"Jadi, kalau kita mau mengedukasi orang-orang di sekitar kita, stres orangtua dengan anak autisme akan berkurang. Stres saya waktu itu adalah mencari tahu anak ini kenapa," terang Gayatri.

Makanya itu dirinya menyebarkan poster '7 Ciri Utama Anak Autisme', agar para orangtua cepat memahami. Selain itu, capai fisik dan mental turut ia rasakan. Karena memang anak-anak autis itu terapinya harus 30-40 jam dalam seminggu.

Terlebih lagi waktu itu Gayatri dan suami membesarkan Audwin di luar negeri. Di sana tidak ada pembantu, semua dilakukan sendiri. Dan kebetulan waktu itu dirinya memutuskan untuk sekolah lagi. Bagi waktu antara sekolah, membawa Audwin terapi, dan mengurus rumah tangga dilakukan dengan amat baik oleh dirinya. "Kayak lebaran ditinggal pembantu gitulah," terangnya.

Sukanya, tambah Gayatri, dirinya dapat bertemu dengan banyak orang dan melihat Audwin mampu mengikat tali sepatunya sendiri di umur 9 tahun.

(Adt/Abd)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.