Sukses

Belum Ada Uji Klinik, Testimoni 'Cuci Otak' Dahlan Iskan Dikritik

Testimoni Menteri BUMN Dahlan Iskan tentang metode pengobatan stroke brain washing (cuci otak) yang dicobanya terus mendapat kritikan dari ahli saraf. Apalagi metode cuci otak belum diterima Kementerian Kesehatan dan IDI sehingga terkesan promosi.

Testimoni Menteri BUMN Dahlan Iskan tentang metode pengobatan stroke brain washing (cuci otak) yang dicobanya terus mendapat kritikan dari ahli saraf. Apalagi metode cuci otak belum diterima Kementerian Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

"Perlu digaris bawahi beliau adalah menteri dan manager yang hebat namun soal pengetahuan tentang prosedur medis perlu kami memberi masukan agar Pak DI dan juga masyarakat mendapatkan informasi berimbang, objektif dan ilmiah tentang 'brainwash'," kata Pambudi SpS, MARS.

Demikian disampaikan Pagan Pambudi SpS, MARS, dari Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (Perdossi), seperti dikutip Liputan6.com dalam tulisannya, Senin (25/2/2013).

Pagan mengatakan, metode cuci otak yang dilakukan dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K), sebenarnya juga sudah dilakukan oleh banyak ahli Neurologi Intervensi. Namun, metode yang digunakan bukan dinamakan Brain Washing, melainkan DSA (Digital Subtraction Angiography).

DSA merupakan prosedur diagnostik untuk melihat kondisi pembuluh darah, termasuk pembuluh darah otak yang tujuannya diagnosti, bukan terapi atau prevensi stroke.

Menurutnya, pada metode DSA dokter tak mempromosikan karena belum adanya data yang cukup untuk mendukung prosedur yang katanya untuk pengobatan dan pencegahan stroke. "Para dokter ini memegang prinsip KEHATI-HATIAN. Perlu pembaca ketahui bahwa hingga saat ini tidak ada satupun guideline dari organisasi profesi neurologi dan radiologi internasional yang merekomendasikan DSA sebagai metoda pencegahan stroke," ujar Pagan.

Di dunia kedokteran, lanjut Pagan, sangat mengutakan prinsip kehati-hatian. Setiap obat baru yang ditujukan untuk pengobatan manusia harus melalui uji klinik yang sangat ketat yang meliputi:
  • Dimulainya uji laboratorium pada hewan
  • uji klinik fase 0 dan 1 pada manusia sehat dalam jumlah kecil
  • Uji klinik fase 2 pada individu sakit dalam jumlah terbatas
  • Uji fase 3 yang melibatkan ratusan individu sakit

"Barulah bila terbukti aman dan efektif obat tersebut boleh digunakan dan di pasarkan secara luas termasuk dipromosikan lewat media. Proses ini memerlukan waktu setidaknya 10 tahun dengan biaya jutaan dolar," ujar Pagan

"Ketentuan ini adalah  aturan baku yang dilaksanakan oleh Badan pengawasan obat dan makanan di Amerika Serikat, Eropa, Jepang dan Indonesia sendiri (BPOM telah menerbitkan "Good Clinical Practice" versi Indonesia). Dokter T sebagai dokter yang hebat tentu tahu aturan ini tetapi entah mengapa tidak mengindahkannya," ujarnya.

Jika memang dr Terawan masih penelitian, Pagan mengimbau agar Terawan tak mengenakan tarif kepada pasien-pasiennya. Bahkan dr Terawan seharusnya membayar asuransi untuk pasiennya bila terjadi komplikasi dari brain washing.

"Pada kenyataannya pasien harus bayar yang menurut DI tidak sampai Rp 100 juta. Jelas bahwa dr T tidak berada dalam fase penelitian, tapi sudah pada fase komersialisasi tanpa uji klinik yang lengkap. Ini sudah termasuk pelanggaran dalam dunia kedokteran dan Farmasi," ujarnya.

Pagan mencontohkan kasus pengabaian protokol Safety yang terjadi pada 1960-an. Saat itu penggunaan Thalidomite sebagai obat anti muntah pada ibu hamil tanpa melalui uji klinik yang lengkap hingga memakan korban. Hasilnya, ribuan anak lahir tanpa kaki dan lengan. "Semoga hal demikian tidak terjadi dalam hal BW ini," ujarnya.

Teknik cuci otak yang dilakukan dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) diklaim bisa membersihkan otak dari penyumbatan yang membuat seseorang bisa mengalami stroke.

Namun sayangnya, teknik cuci otak dr Terawan ini, dianggap bukan teknik yang benar. Banyak dokter yang beranggapan cara pengobatan itu tidak tepat karena dilakukan seorang dokter radiologi dan belum dilakukan serangkaian penelitian ilmiah yang menjamin cara itu aman.

Dan testimoni Dahlan mengungkapkan ketakjubannya dengan metode cuci otak yang dilakukan dr Terawan. Ia mendapat kesempatan menjalani cuci otak di RSPAD meski ia tidak dalam keadaan sakit dan tak mengeluh apa pun. Namun ia penasaran ingin mencoba metode yang katanya bisa mengobati stroke.(Mel/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.