Sukses

Pengobatan Stroke Pakai Brain Washing Dinilai Tak Tepat

Brain washing (BW) alias cuci otak umumnya dikenal sebagai cara untuk mengubah pikiran dan perilaku seseorang untuk kepentigan tertentu. Namun BW di Indonesia yang kini menjadi tren pengobatan stroke.

Brain washing (BW) alias cuci otak umumnya dikenal sebagai cara untuk mengubah pikiran dan perilaku seseorang untuk kepentigan tertentu. Namun BW di Indonesia yang kini menjadi tren merupakan sarana pengobatan stroke.

Teknik yang dimaksudkan bukan seperti cuci otak pada umumnya, melainkan teknik membersihkan otak dari penyumbatan yang membuat seseorang mengalami stroke. Banyak dokter yang beranggapan cara pengobatan itu tidak tepat karena dilakukan seorang dokter radiologi dan belum dilakukan serangkaian penelitian ilmiah yang menjamin cara itu aman.

Stroke merupakan penyakit yang lama sembuh dan membutuhkan biaya yang mahal. Kepustakaan menyebutkan, sepertiga penderita stroke bisa sembuh sempurna, sepertiga cacat, dan sepertiga sisanya meninggal dunia.

Ketua Persatuan Dokter Saraf Seluruh Indonesia (Perdossi) Prof. Dr. dr. Hasan Machfoed, SpS (K), MS menjelaskan, promosi teknik pengobatan BW lumayan gencar seperti yang pernah dilakukan Klinik Tong Fang. Padahal, terapi cuci otak itu dianggap menyesatkan dan jauh menyimpang dari maksud aslinya.

"Dampak promosi BW sangat luar biasa, baik di kalangan dokter maupun masyarakat umum," ujar Profesor Hasan seperti yang dikutip Liputan6.com, Senin (11/2/2013).

Menurutnya, dalam promosi disebutkan BW dilakukan oleh seorang dokter radiologi. Dan semua kerak otak diklaim bisa dicuci bersih sehingga otak menjadi segar bugar, tak peduli berapa tahun seseorang menderita stroke.

"Kalau kalangan dokter mempertanyakan hasilnya, tidak demikian dengan masyarakat umum. Mereka umumnya 'tergiur' promosi BW. Lebih-lebih bagi pasien dan keluarga yang telah lama menderita stroke. Promosi ini ibarat angin sorga yang menyejukan. Mereka menaruh harapan besar," ujarnya.

Profesor Hasan mengatakan, sejumlah kalangan dokter mempertanyakan hasil terapi BW karena sudah menjadi keharusan dalam dunia ilmiah medis, bahwa setiap penemuan obat atau cara pengobatan baru harus didahului penelitian yang bertahap. Biasanya diawali dengan percobaan pada binatang, dan jika berhasil dilanjutkan dengan clinical trial pada subjek manusia. Setelah itu dilanjutkan melalui publikasi ilmiah.

Apalagi cara Brain Washing ini tak masuk dalam panduan terapi stroke (Guidelines/GL). Sementara dalam promosi di media, BW digadang-gadang bisa menghilangkan sumbatan di otak dengan cara memasukkan obat ke dalam PDO (Pembuluh Darah Otak), namun tak jelas obat apa yang dimasukkan karena belum pernah dipublikasikan.

BW kabarnya bisa dilakukan kapan pun, tak peduli berapa tahun penderita stroke. Padahal, teknik trombolisis hanya boleh menggunakan obat tak melebih delapan jam.

"Jelas, itu tidak sesuai dengan pedoman yang sudah teruji. Keberhasilan terapi intervensi stroke bukan segala-galanya. Bila semua persyaratan dipenuhi (tepat waktu, tepat indikasi, dan tepat obat), keberhasilan terapi hanya 40–45 persen. Apalagi kalau tak terpenuhi, kegagalannya jadi semakin besar. Sayangnya, hal tersebut tidak pernah diungkapkan".

Profesor Hasan mencontohkan, tayangan iklan brain washing di televisi pada Jumat (16 November 2012) menyebutkan: ''Inilah satu-satunya metode baru di Indonesia, bahkan juga di dunia''.

"Kalau itu benar, masyarakat ilmiah Indonesia, bahkan dunia, akan menyambutnya dengan sukacita. Artinya, telah ditemukan obat baru stroke oleh putra Indonesia. Namun, itu semua harus dilakukan melalui metode ilmiah yang ketat. Tanpa penelitian jelas, tidak boleh melakukan terapi langsung pada manusia".

"Sayangnya, masyarakat ilmiah kedokteran Indonesia tidak mengenal BW. Mereka yang berniat mencuci otaknya perlu hati-hati. Tanya dulu pendapat dokter lainnya. Terutama dari spesialis saraf yang biasa menangani stroke. Malu bertanya, bisa terjerumus di jalan. Belum lagi kalau ditinjau dari Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Banyak pasal Kodeki yang melarang dokter berpromosi".

Serangan Stroke

Gejala stroke yang mudah dikenal yakni seseorang mengalami lumpuh separuh badan secara mendadak, sulit bicara dan menelan, gringgingen/kebas, dan gangguan keseimbangan. Gejala lainnya adalah kejang, tidak sadar, gangguan berpikir, dan gangguan psikologis. Gejala ini bisa semua atau sebagian. Bila terlambat atau tidak akurat ditangani, terjadilah cacat tetap atau gejala sisa (sequelae).

Stroke merupakan penyakit pembuluh darah otak (PDO) karena tersumbat (iskemik) atau pecah (pendarahan). Jumlah penderita stroke saat ini juga meningkat. Dulu, stroke menyerang orang lanjut usia akibat kakunya PDO (arteriosklerosis) karena proses tua.

Namun, belakangan ini stroke bisa menyerang orang muda yang masih produktif. Ini bisa dipicu pola hidup yang tidak sehat, stres psikologis karena kerasnya persaingan hidup. Dan jika penderita mengalami cacat maka akan menurunkan kualitas hidup pasien dan keluarganya jika penderita merupakan kepala keluarga.

Faktor risiko stroke ada dua macam, yang bisa diubah dan tak bisa diubah. Faktor risiko yang tak bisa diubah antara lain umur, jenis kelamin, suku bangsa, dan keturunan. Sedangkan yang bisa diubah seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung, penyakit kencing manis, kadar lemak tinggi, merokok atau minum alkohol, gemuk, kurang olahraga, dan stres.

Untuk pedoman terapi stroke biasanya mengacu pada kesepakatan berbagai perkumpulan profesi kedokteran yang terpercaya di dunia demi menyelamatkan kerusakan otak secepat mungkin.

Untuk stroke iskemik yang baru terjadi (akut), diperlukan tindakan intervensi berupa trombolisis dan trombektomi. Trombolisis adalah memasukkan obat ke dalam PDO. Tujuannya adalah agar bekuan darah (thrombus) yang menyumbat PDO larut. Biasanya digunakan obat rt tPA atau urokinase dan harus dilakukan dalam waktu 6 jam sejak seseorang terkena stroke.

Sedangkan trombektomi dilakukan dengan menyedot thrombus dan hanya boleh dilakukan sampai delapan jam. Setelah itu, dilarang memasukkan obat apa pun karena sangat berbahaya menimbulkan kematian. Obat pelarut tak berfungsi lagi jika bekuan darah sudah lama terbentuk.

Perdebatan BW

Ramainya tren Brain Washing ini ditanggapi Ahli Bedah Saraf dari RSAU Antariksa, Halim, Dr dr Wawan M, SpBS dan Dr Yudi Y Wiwoho, SpBS. Menurut Doktor Wawan, informasi yang selama ini beredar di Broadcast BlacBerry Messenger tak sepenuhnya salah. Beberapa hal yang dinilai salah menurut Dr Wawan dan Dr Yudi adalah tak ada pasien stroke yang langsung berobat ke radiologi karena keahlian radiologi dalam bidang penunjang medik.

"Jadi tidak menerima pasien baru langsung, namun pasien rujukan dari spesialis saraf atau bedah saraf," ujar Dr Wawan.

Ia juga menjelaskan, tak ada istilah Brain Washing atau cuci otak untuk pengobatan stroke, melainkan Endovascular Treatment/Neurovaskular intervensi. Pihak yang mengerjakannya juga bukan radiologi, tapi juga bisa seorang Kardiolog, Neurolog atau Bedah Syaraf yang mendalami bidang Endovascular Treatment/Neuro Intervensi/Radiologi Intervensi.

"Nama tekniknya basicnya DSA = Digital Substraction Angiography untuk diagnostik, yang bisa dilanjutkan/bersamaan dilakukan tindakan Coiling atau Stenting, Balloning atau Embolisasi atau Trombolisis, tergantung jenis patologinya. Dan ini sudah dikerjakan sejak 20an tahun yang lalu. Nama alat ronsennya (nama umum) adalah Fluoroscopy," jelasnya.

Menurutnya, teknik pengobatan stroke dengan Endovascular Treatment/Neurovaskular intervensi sudah ada sejak ia di zaman kuliah kedokteran. Namun, belum banyak dokter spesialis yang mengerjakannya.

Sedangkan Dr Wawan mengatakan salah satu hal yang benar dari informasi yang beredar, dokter yang menjalankan terapi BW memang radiolog. Namun dr Terawan merupakan Spesialis Radiologi yang mendalami Radiologi Intervensi. doketr Terawan Agus Putranto, Sp.Rad (K) RI, merupakan dokter yang mengenalkan pengobatan Brain Washing.

Dr Wawan menjelaskan, dengan tindakan Endovascular Treatment yang dikerjakan adalah membuka sumbatan aliran pembuluh darah otak yang mengalami stroke iskemik atau infark dengan stenting atau ballooning.

"Selama sel otaknya belum rusak total, maka apabila sumbatannya dibuka, maka sel otak tersebut akan membaik fungsinya namun biasanya tidak bisa 100 persen. Untuk kasus aneurisma dan AVM dapat dilakukan tindakan embolisasi atau coiling," ungkapnya.

"Mengenai istilah Brain Wash, tidak ada dalam terminologi medis. Yang ada adalah trombolisis itu pun terbatas pada kasus sumbatan akut dan dikerjakan dalam jam-jam pertama serangan stroke," pungkasnya.(Mel/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.