Sukses

Yang Benar dan Salah dari Imunisasi

Imunisasi masih membuat orangtua khususnya para ibu takut karena menganggap vaksin akan berdampak buruk bagi kesehatan anak.Cek yang benar dan yang salah soal vaksin.

Berkembangnya teknologi tentang imunisasi masih membuat orangtua khususnya para ibu takut karena menganggap imunisasi akan berdampak buruk bagi kesehatan anak.

"Pendapat bahwa imunisasi berbahaya, yang dimuat pada buku, tabloid, blog atau milis umumnya dikutip dari artikel yang ditulis oleh psikolog, ahli statistik, homeopati, bakteriologi, sarjana hukum, kolumnis, ahli kanker, dan jurnalis, yang bekerja sebelum tahun 1960," ungkap Dr. Soedjatmiko, SpA(K), MSi selaku Sekretaris Satgas Imunisasi, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 

Menurutnya, jenis dan teknologi pembuatan vaksin telah mengalami kemajuan pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sehingga sangat berbeda dengan keadaan 50 tahun lalu.

Berikut ini, ada beberapa mitos yang SALAH seputar imunisasi yang sering ditanyakan masyarakat dan mungkin Anda belum mengetahuinya, menurut Dr. Soedjatmiko, Selasa (5/1/2013):

1. Benarkah penelitian 'Wakefield' seorang ahli vaksin yang membuktikan MMR menyebabkan autism ?

Tidak benar. Wakefield bukan ahli vaksin, dia  dokter spesialis bedah. Penelitian Wakefield tahun 1998 hanya berdasarkan 18 sampel. Banyak penelitian lain oleh ahli vaksin di beberapa negara, menyimpulkan MMR tidak terbukti mengakibatkan autis.

Setelah diaudit oleh tim ahli penelitian di Inggeris, terbukti bahwa Wakefield memalsukan data, sehingga kesimpulannya salah. Hal ini telah diumumkan di majalah resmi kedokteran Inggeris British Medical Journal Februari 2011.

2. Benarkah vaksin mengandung lemak babi ?

Tidak benar. Pada proses penyemaian induk bibit  vaksin tertentu 15 – 20 tahun lalu,  ketika proses panen bibit vaksin tersebut  bersinggungan dengan tripsin pankreas babi untuk melepaskan induk vaksin dari persemaiannya.

Tetapi induk bibit vaksin tersebut kemudian dicuci dan dibersihkan total dengan cara ultrafilterisasi ratusan kali, sehingga pada vaksin yang diteteskan atau disuntikan pada bayi balita tidak mengandung tripsin babi.

Hal ini dapat dibuktikan dengan pemeriksaan khusus. Atas dasar itu menurut Majelis Ulama Indonesia vaksin itu boleh dipakai, selama belum ada penggantinya. Contoh : vaksin meningokokus  haji diwajibkan oleh Saudi Arabia bagi semua jemaah haji untuk mencegah radang otak karena meningokokus.

3. Demam, bengkak, nyeri, kemerahan setelah imunisasi membuktikan bahwa vaksin berbahaya?

Tidak berbahaya. Demam, nyeri, kemerahan, bengkak, gatal di bekas suntikan adalah reaksi wajar setelah vaksin masuk ke dalam tubuh. Seperti rasa pedas dan berkeringat setelah makan sambal adalah reaksi normal tubuh kita.

Umumnya keluhan tersebut akan hilang dalam beberapa hari. Boleh diberi obat penurun panas, dikompres. Bila perlu bisa konsul ke petugas kesehatan yang telah memberikan imunisasi tersebut untuk mendapat pertolongan dan pengobatan.

4. Benarkah imunisasi bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian bayi dan balita?

Benar.  Badan penelitian di berbagai negara membuktikan bahwa dengan meningkatkan cakupan imunisasi, maka penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi berkurang. Oleh karena itu saat  ini program imunisasi dilakukan terus menerus di 194 negara, termasuk negara dengan sosial ekonomi tinggi dan negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Semua negara berusaha meningkatkan cakupan agar lebih dari 90 %. Di Indonesia, terjadi wabah polio 2005-2006 karena banyak bayi yang tidak diimunisasi polio, maka  menyebabkan 305 anak lumpuh permanen. Setelah digencarkan imunisasi polio, sampai saat ini tidak ada lagi kasus polio baru.

5. Orangtua harus bersikap bagaimana terhadap isu-isu tersebut ?

Sebaiknya semua bayi dan balita di imunisasi secara lengkap. Saat ini 194 negara di seluruh dunia yakin bahwa imunisasi aman dan bermanfaat mencegah wabah, sakit berat, cacat dan kematian.

6. Perlukan Imunisasi jika bayi sudah diberi ASI (Air Susu Ibu)?

Perlu. Tidak ada satupun badan penelitian di dunia yang menyatakan ASI, gizi, suplemen herbal bisa menggantikan imunisasi, karena kekebalan yang dibentuk sangat berbeda. ASI, gizi, suplemen herbal, memiliki kebersihan yang akan memperkuat pertahanan tubuh secara umum, namun  tidak membentuk kekebalan spesifik terhadap kuman tertentu yang berbahaya.

Vaksin akan merangsang pembentukan kekebalan yang spesifik (antibodi) terhadap kuman, virus atau racun kuman tertentu. Setelah antibodi terbentuk akan bekerja lebih cepat, effektif dan effisien untuk mencegah penularan penyakit yang berbahaya.

7. Bagaimana jika pemberian imunisasi terlambat?

"Sebaiknya pemberian imunisasi tepat waktu. Pemberian imunisasi juga bisa diberikan ke bayi atau anak saat anak batuk pilek sedikit tanpa demam tapi tidak rewel,"jelasnya.

Kalau tidak diimunisasi, justru anak tidak punya kekebalan spesifik. Jika anak tidak punya kekebalan spesifik, anak akan mudah terserang penyakit berbahaya, sakit berat, mati atau cacat. Jadi walaupun terlambat, vaksin tetap akan membentuk kekebalan spesifik tapi kadang-kadang kurang maksimal, tapi masih mampu melindungi," tambah Dr. Soedjatmiko.

Perlu diketahui, vaksin yang digunakan oleh program imunisasi di Indonesia adalah buatan PT Biofarma Bandung, pabrik vaksin yang telah berpengalaman selama 120 tahun.

Proses pembuatannya diawasi dan diaudit secara periodik oleh pakar-pakar WHO, karena vaksin-vaksin Biofarma dibeli oleh WHO dan dieksport ke 120 negara lain, termasuk 36 negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam. (Fit/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.