Sukses

Anak Tunggal Ternyata Berisiko Terkena Obesitas

Hati-hati bagi Anda yang memiliki anak tunggal, ternyata anak tunggal lebih berpotensi terkena obesitas. Itulah hasil penelitian para ahli dari daratan Eropa.

Liputan6.com, London: Anak tunggal tenyata lebih berpotensi terkena obesitas. Berdasarkan studi terbaru yang dilakukan oleh para peneliti dari berbagai penjuru Eropa belum lama ini diketahui bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa saudara kandung memiliki risiko lebih dari 50 persen kelebihan berat badan atau obesitas.

Para peneliti dari berbagai penjuru Eropa itu melakukan penelitian dengan mempelajari pola makan, gaya hidup serta obesitas dan efek kesehatan pada anak dengan rentang usia 2 sampai 10 tahun. Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa mereka memang memiliki risiko lebih tinggi terhadap obesitas dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang memiliki saudara kandung.

Dalam penelitian yang juga dipublikasikan dalam jurnal Nutrition and Diabetes terhadap 12.700 anak itu, mereka melakukannya di bawah kerangka proyek penelitian Eropa mengenai Identifikasi dan pencegahan Efek diet dan gaya hidup terhadap kesehatan Pada Anak dan Bayi (IDEFICS). Hasil penelitian itu juga diambil berdasarkan pada jenis kelamin, bobot saat lahir dan bobot tubuh orang tua. Ditambah dengan Indeks Tubuh Anak, serta kuesioner untuk orang tua tentang kebiasaan makan anak, kebiasaan menonton televisi, dan jumlah waktu bermain di luar.

"Studi kami menunjukkan bahwa hanya anak-anak yang sedikit bermain di luar, tinggal di rumah dengan pendidikan usia dini serta memiliki televisi di kamar tidur mereka. Tetapi ketika kita menghubungkan faktor saudara kandung dan obesitas, ternyata hasilnya sangat besar. Memang, menjadi anak tunggal tampaknya menjadi faktor utama risiko obesitas yang muncul dari dalam lingkungan dan dirinya sendiri," kata Monica Hunsberger, seorang peneliti di Akademi Sahlgrenska di Universitas Gothenburg yang berkontribusi untuk penelitian ini.

"Fakta bahwa hanya anak-anak yang lebih rentan terhadap obesitas, mungkin terjadi karena perbedaan dalam lingkungan keluarga individu dan struktur keluarga yang tak dapat kita rincikan. Untuk lebih memahami secara umum, sebuah studi lanjutan dari keluarga-keluarga tersebut akan dilakukan mulai tahun depan," kata Lauren Lissner, seorang peneliti di Akademi Sahlgrenska. (Vin)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.