Sukses

Hari Down Syndrome Sedunia: Fabi Ajarkan Mengasihi dengan Tulus

Liputan6.com, Jakarta Dunia memperingati Hari Down Syndrome Sedunia setiap 21 Maret. Bertepatan dengan momen itu, hari ini saya ingin memperingatinya dengan berbagi kisah anak dengan Down Syndrome yang memiliki tempat khusus di hati. 

Sebagai seorang anak dengan Down Syndrome atau sindrom down, almarhum adik saya, Sebastian Fabi Prasasti, punya empati yang sangat kuat terhadap orang di sekitarnya.

Bahkan, mungkin perasaannya lebih sensitif dibandingkan dengan mereka yang dianggap normal.

Saya ingat sebuah peristiwa saat kami sedang berada di rumah nenek. Ada seorang sepupu saya yang saat itu terlihat bersedih. Tiba-tiba, adik saya menghampiri lalu menepuk-nepuk pundaknya. Fabi saat itu hanya bilang, "Sabar, ya."

Mendapat tepukan di pundak dan kalimat sederhana dari Fabi seperti itu, tentu saja sepupu saya terkejut. Dia tidak pernah menceritakan masalahnya pada adik saya. Fabi penyandang Down Syndrome dan sepertinya tidak mengerti masalah orang normal. Tapi rupanya itulah yang istimewa dari para penyandang Down Syndrome, memiliki empati tinggi.

Contoh lainnya, ketika kumpul keluarga. Bisa dipastikan Fabi tidak mengerti apa yang tengah kami bicarakan. Tapi ketika kami tertawa, dia ikut tertawa.

Mengenai kepekaan itu, saya pernah bertanya pada salah satu guru Fabi dulu. Dia yang melatih Fabi untuk bisa bicara.

"Semua anak DS sama, ketika mereka melihat temannya sakit, gurunya sakit, mereka akan merasa ingin memperhatikan dan memberi sesuatu supaya mereka bangkit," kata Benediktus Cony Calvianto, salah satu guru di Sekolah Luar Biasa Filial Negeri Bekasi.

Menurut pria yang kerap disapa Cony itu, hal itu sudah menjadi ciri khas dari anak dengan Down Syndrome (DS). 

 

Saksikan juga video berikut ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Butuh Waktu Mengajari Anak dengan Sindrom Down

Bukan hal yang mudah untuk mengajari anak dengan Down Syndrome untuk bersosialisasi. Butuh waktu lama dan dedikasi untuk melakukannya. Pada waktu awal dia masuk sekolah saja gurunya mengakui kalau dia belum bisa apa-apa.

"Kami selalu latih untuk motorik halus, menirukan, menebalkan. Pokoknya prosesnya lama," kata Paulina Embong Bulan, salah satu guru Fabbi ketika di Sekolah Luar Biasa.

Walaupun begitu, seiring dengan berjalannya waktu, Fabi mulai bisa bicara. Berawal dari meniru kata-kata orang lain, Fabi akhirnya mulai fasih berbicara.

Karena hal itu pula, keluarga kami cukup berhati-hati dalam berucap di rumah, agar adik saya tidak mengikuti kata-kata kasar yang mungkin saya ucapkan.

Dengan kemampuannya meniru inilah, ibu mengajari Fabi untuk bermain gitar, walaupun hanya kunci yang mudah.

3 dari 3 halaman

Belajar Empati dari Penyandang Sindrom Down

Cony mengakui, adik saya tidak seperti anak Down Syndrome lainnya. Mereka terkadang berkumpul dengan sesama anak sindrom down.

"Anak DS cenderung kumpul dengan anak DS. Tetapi Fabi fleksibel, dengan siapa pun dia bisa," kata Cony.

Adik saya mudah akrab dengan semua teman di sekolahnya. Tidak peduli jenis kelamin mereka. Salah satu teman dekat Fabi adalah Indri. Penyandang Down Syndrome perempuan.

Saya ingat, ketika adik saya disemayamkan, Indri bahkan tidak mau melihat jenazah di dalam peti. Rasa empati mereka luar biasa.

Mungkin empati luar biasa seperti itu akan sulit ditemukan dalam diri orang-orang yang dianggap sempurna secara fisik dan mental.

Sekarang, adik saya sudah tenang bersama-Nya. Saya percaya, dia masih melihat kami. Setiap hari, dia mendoakan saya dan keluarga.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.