Sukses

Kritik Keras Penyandang Disabilitas terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Adanya pasal yang dianggap diskriminatif bagi perempuan penyandang disabilitas, membuat Ketua Umum Himpunan Wanita Difabel Indonesia angkat bicara.

Liputan6.com, Jakarta Adanya Rancangan Undang-Undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) pasal 104, dikhawatirkan ancam hak penyandang disabilitas perempuan.

Ini diungkap Maulani A. Rotinsulu, Ketua Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia, di sela acara Hari Perempuan Internasional "Perempuan Disabilitas Mengubah Dunia" di Jakarta, ditulis Jumat (9/3/2018).

Menurutnya, para pembuat RUU ini memiliki anggapan bahwa korban kekerasan yang merupakan disabilitas, akan berpengaruh pada sisi ekonomi keluarga, bukan korban.

"Perspektif ini sangat bertolak belakang dengan apa yang mereka katakan bahwa RUU ini pro korban," kata Maulani saat ditemui Health-Liputan6.com.

"Mereka berpikir kalau penyandang disabilitas itu tidak bisa survive. Padahal kan ini peraturan perundang-undangan, harusnya ideal," tambah Maulani.

Maulani menganggap bahwa RUU ini tidak diimbangi dengan sudut pandang penyandang disabilitas yang berdampak langsung.

Selain itu, Maulani menganggap bahwa dengan adanya RUU ini, perempuan disabilitas dianggap berbeda dari orang-orang.

Walaupun dilibatkan dalam pembuatan RUU ini, namun Maulani menganggap penolakan mereka tidak didengarkan.

"Dalam konsultasi publik, kami meminta itu harus dihapuskan, tapi itu tetap dimasukkan," tutup Maulani.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Diskriminatif

Draft rancangan undang undang penghapusan kekerasan seksual (RUU PKS) sendiri disusun sebagai upaya pemenuhan rasa aman dan bebas dari kekerasan seksual.

Namun, dalam RUU ini, pasal 104 dianggap diskriminatif dan tidak menunjukkan adanya kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas.

Pasal ini sendiri menyatakan bahwa "Dalam hal pemasangan kontrasepsi terhadap orang dengan disabilitas mental yang dilakukan atas permintaan keluarga berdasarkan pertimbangan ahli untuk melindungi keberlangsungan kehidupan orang tersebut bukan merupakan tindak pidana."

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.