Sukses

Tinggal di Pengungsian Patahkan Harapan Hidup Korban Rohingya

Konflik Rohingnya membuat korban harus berpindah ke pengungsian. Sayang, pengungsian tak memberikan kehidupan yang lebih layak.

Liputan6.com, Jakarta Seorang psikiater dari United Nations Refugee Agency, Peter Ventevogel, mewawancarai 148 korban Rohingya di Bangladesh. Ia menemukan kondisi mental yang sangat kacau, khususnya bagi mereka yang baru saja tiba di pengungsian.

Selain tingkat stres yang tinggi, Ventevogel menemukan sebagian besar korban Rohingya merasa pesimistis terhadap kelanjutan hidup mereka. Psikiater ini menilai pengungsian tak memberikan kehidupan yang lebih layak bagi para korban.

"Di awal, kita pasti melihat adanya tingkat stres tinggi dan rasa pesimistis. Tapi, mereka yang baru saja tiba di pengungsian akan lebih kacau karena tidak punya pilihan lain. Informasi terbatas juga membuat mereka tidak bisa mengambil keputusan yang diinginkan," kata Ventevogel.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hidup dalam jebakan

Dalam jurnal Transcultural Psychiatry, Ventevogel merincikan tingkat kesehatan mental korban Rohingya, di antaranya mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), yaitu kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa mengerikan.

"Perasaan mereka seperti terjebak," ujar Ventevogel.

Selama bertahun-tahun Ventevogel tinggal dan berbicara dengan korban Rohingya, sayang lingkungan pengungsian tidak juga menutup trauma dan shock mereka.

"Pindah ke lingkungan yang tidak ramah, sangat tidak baik untuk kesehatan mental dan fisik mereka. Tinggal berlama-lama di pengungsian seperti menciptakan hidup dalam putus asa dan hilangnya harapan," kata Ventevogel, dikutip dari npr.org, Senin (4/9/2017).

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.