Sukses

Para Dokter Sesalkan Maraknya Penyalahgunaan Obat Psikotropika

Ikatan Dokter Indonesia dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran jiwa Indonesia menyesalkan maraknya penyalahgunaan obat psikotropika.

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran jiwa Indonesia (PDSKJI) menyesalkan maraknya penyalahgunaan obat-obatan psikotropika, mengingat obat-obatan tersebut termasuk dalam obat-obatan yang wajib diperoleh menggunakan resep dokter. Obat-obatan jenis psikotropika (juga narkotika) memiliki sifat adiktif. Bila tidak dikendalikan bisa disalahgunakan.

Demikian disampaikan Sekjen PB IDI Dr Moh Adib Khumaidi, SpOT yang didampingi beberapa pengurus PB IDI, Dr Prasetyo Widi Buwono, Sp.PD, KHOM, Dr Mahesa Paranadipa, MH, serta Ketua PDSKJI Dr Eka Viora, SpKJ dan beberapa pengurus PDSKJI dalam jumpa pers dengan media di Sekretariat PB IDI, Jalan Samratulangi 29, Jakarta Pusat, Selasa (15/3/2017).

Dalam keterangannya, Adib menyebutkan bahwa obat bukanlah satu-satunya pilihan dalam proses menuju kesembuhan. Penggunaan obat harus sesuai indikasi. Ambil contoh misalnya jika seseorang sakit kepala, yang bersangkutan dapat mengonsumsi obat yang disebutkan indikasinya untuk menurunkan sakit kepala.

Jumpa pers PB IDI di Sekretariat PB IDI Jalan Samratulangi 29 Jakarta Pusat, Kamis (15/3/2017)

Obat yang dapat dibeli langsung oleh masyarakat disebut sebagai obat bebas atau obat bebas terbatas yang memiliki tanda khusus pada kemasannya, yaitu lingkaran hijau dengan tepi hitam dan lingkaran biru dengan tepi hitam. Golongan obat bebas terbatas ini tetap harus dibeli di apotek lewat apoteker.

Mengenai obat-obatan yang dapat diserahkan tanpa resep telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 919 tahun 1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep.

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek disebutkan definisi resep yaitu permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun elektronik, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Penekanannya adalah resep dibuat oleh dokter ditujukan kepada apoteker.

Pemberian obat kepada pasien yang datang berobat pada seorang dokter merupakan salah satu mata rantai proses pengobatan. Pasien datang, mengeluhkan penyakitnya. Selanjutnya, dokter melakukan berbagai pemeriksaan (termasuk pemeriksaan penunjang), menegakkan diagnosis, menyusun program terapi (salah satunya pemberian obat), dan monitoring secara reguler untuk mengawal ke proses kesembuhan.

Pemberian obat akan berlanjut dengan kontrol ulang dalam waktu yang ditentukan. Gejala-gejala penyakit harus dikawal, dan naik-turunnya dosis obat dikendalikan oleh dokter. Sehingga, apabila pasien tidak mendapatkan obat dari dokter, siapa yang mengendalikan gejala serta mengatur tinggi-rendahnya dosis obat?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.