Sukses

Saat Vaksin Jadi Acuan Turunkan Kematian Anak Akibat Pneumonia

Pemerintah menambah vaksin pneumonia di 2017, efektifkah?

Liputan6.com, Jakarta Pneumonia atau penyakit radang paru akut merupakan penyebab kematian bayi tertinggi di Indonesia setelah diare.

Menurut Direktur Surveilance dan Karantina Penyakit Kementerian Kesehatan RI dr Elizabeth Jane Soepardi MPh DSc, sekitar 55 persen kematian bayi disumbangkan oleh pneumonia.

Hasil riset Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015 menunjukkan, pneumonia menjadi penyebab kematian bayi dan anak-anak di seluruh dunia, sebanyak 15 persen atau 930.126 kematian anak-anak.

Angka ini jauh melampaui angka kematian yang disebabkan oleh penyakit-penyakit berbahaya lainnya, seperti HIV/AIDS, malaria dan campak.

Hal ini mendorong pemerintah untuk menambahkan tiga vaksin baru pada 2017, yang salah satunya pneumokokus untuk mencegah pneumonia. Vaksin ini akan diterapkan pada pertengahan tahun ini di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

"Kenapa Lombok? karena pneumonia paling tinggi di sana. Kita ingin coba mendokumentasikan data semua untuk melihat adakah dampak penurunan pneumonia yang sekaligus menurunkan angka kematian bayi," kata Jane.

Menurut Jane, dengan adanya pemberian vaksin di Lombok, pemerintah ingin menunjukkan bahwa vaksin efektif menurunkan angka kematian bayi.

"Kita berharap, masyarakat juga mendukung, Pemda juga harus mendukung. Dengan membawa bukti data, rekaman di sana, akan memudahkan pemerintah berjuang ke DPR dan menunjukkan ini efektif," katanya.

Selain menurunkan angka kematian bayi, pemerintah juga berharap, vaksin juga bisa mengurangi beban BPJS Kesehatan yang menyedot anggaran cukup tinggi karena merawat anak.

"Mengingat harga vaksin yang mahal, satu dosis Rp260 ribu, sedangkan kita perlu 3 dosis untuk satu anak. Itu harga pemerintah. Swasta lebih mahal, Rp800 ribu- Rp1 juta untuk satu dosis ke satu anak. Jadi kami harap bila ini masuk program nasional tentu akan menguntungkan banyak pihak," katanya.

Jane mengatakan, pemberian vaksin di Lombok akan diberikan pada anak usia 2 dan 3 bulan, serta 12 bulan dalam periode 1 tahun. Di tahun kedua, diharapkan sudah ada hasil yang terlihat.

Sosialisasi pneumonia masih perlu

Dokter spesialis anak yang bertugas di RS Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta, dr. Darmawan, SpA mengungkapkan pentingnya sosialisasi pneumonia kepada masyarakat dan peran serta masyarakat untuk mencegah penyakit ini menjadi epidemi.

“Jumlah korban jiwa akibat pneumonia sekitar 15% dari total jumlah balita yang ada di Indonesia,” katanya, menurut keterangan pers, Rabu (8/3/2017).

Sebagai dokter spesialis anak yang masuk ke dalam tim UKK (Unit Kerja Koordinasi) Respirologi IDAI, dr. Darmawan telah banyak menangani pasien anak yang terserang pneumonia, dengan kondisi yang rata-rata sudah gawat saat dibawa ke rumah sakit.

“Masyarakat harus aware terhadap gejala pneumonia. Semua berawal dari batuk pilek (salesma). Batuk pilek yang disertai tarikan nafas melebihi normal saat sang anak tidur, lalu kemudian ada sesak nafas, itulah ciri-ciri pneumonia. Saat itu terjadi, cepat bawa ke dokter atau rumah sakit,” lanjutnya.

Mengenai vaksin pneumonia yang akan segera diuji coba di Indonesia, dr. Darmawan mengatakan bahwa imunisasi pneumonia sangat penting, dan harusnya penggunaan imunisasi ini akan mengurangi risiko anak terkena pneumonia. Namun peran serta masyarakat untuk benar-benar mengetahui gejala pneumonia yang terjadi pada orang-orang di lingkungannya, akan sangat membantu anak mendapatkan tindakan medis secepatnya.

Di sisi lain, Dr. Paulina K. Bangun, SpA, M.Ked (Ped) dari RSIA Limijati, Bandung juga menekankan pentingnya perhatian orangtua terhadap anak dalam memperhatikan gejala pneumonia.

"Pilek, batuk yang disertai demam, lalu dibiarkan lebih dari satu minggu oleh orangtua tanpa pemeriksaan ke dokter, biasanya bisa mengakibatkan pneumonia. Apalagi kalau balita sudah terkena sesak nafas. Itulah gejala pneumonia yang belum banyak orang mengetahuinya,” jelas Paulina.

Untuk itu, ia menganjurkan agar anak mendapat ASI yang cukup, mendapatkan vaksin, lingkungan yang higienis, dan memperoleh gizi yang baik untuk mencegah pneumonia.

“Jika seorang anak tinggal di lingkungan padat penduduk, dengan paparan asap rokok dari orang terdekat, serta memiliki gizi buruk, ancaman terkena pneumonia akan lebih besar,” lanjutnya.

Paulina menambahkan, sudah ada perhatian yang cukup besar dari pemerintah mengenai penyakit pneumonia ini, termasuk di dalamnya adalah dibuatnya vaksinpneumonia di Indonesia. Namun, butuh sosialisasi dan edukasi yang lebih luas lagi kepada masyarakat tentang bahaya pneumonia, agar tingkat kematian akibat penyakit ini turun secara signifikan.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

  • Pneumonia atau yang lebih dikenal dengan istilah paru-paru basah, merupakan peradangan yang terjadi pada jaringan paru-paru

    Pneumonia