Sukses

Lewat Pendekatan Budaya, Klinik Eny Makin Ramai

Liputan6.com, Jakarta Sebanyak 11 orang perwakilan dari sejumlah negara yang tergabung dalam Joint Learning Network (JLN) mengunjungi Klinik Pratama Eny di Mojosari Raya Baturetno Banguntapan Bantul, Kamis (2/3/2017) sore.

Kedatangan mereka dan rombongan BPJS Kesehatan dari DKI Jakarta dan DI Yogyakarta disambut dengan nyanyian sepuluh orang bapak berbaju oranye bertuliskan "Husada Mulia Higrisk Club - Klinik Eny" yang terbagi dua barisan; lima orang di sisi kanan dan lima orang di sisi kiri.

Sambutan hangat, sederhana, tapi meriah juga diberikan oleh ibu-ibu yang mengenakan kaos dengan warna dan tulisan serupa. Ibu-ibu itu melakukan senam yang biasa mereka lakukan di Klinik Pratama Eny setiap hari Sabtu. Penyambutan diakhiri dengan saling memijat dan minum segelas jamu yang dibuat langsung oleh tiga orang ibu yang ada di barisan peserta tari.

Sambutan untuk 11 orang perwakilan dari sejumlah negara yang tergabung dalam Joint Learning Network (JLN)

Sekilas, Klinik Pratama Eny tampak biasa saja dari luar, seperti puskesmas pada umumnya yang memiliki sejumlah ruangan yang terdiri dari poli umum, poli gigi, tempat registrasi, apotek, serta ruang tunggu pasien yang berbentuk joglo. Ditambah sentuhan khas Jawa, ditandai dengan wayang yang menempel di dinding-dindingnya. Dan satu lagi, berada di sini seperti berada di kafe yang mengusung tema kekinian.

Namun, lebih dari itu, Klinik Pratama Eny merupakan salah satu fasilitas kesehatan tingkat pertama yang mempunyai pendekatan unik untuk peningkatan pelayanan dan fungsi BPJS Kesehatan.

Klinik Eny

"Akhir tahun kemarin, kami mengelola peserta BPJS sebanyak lima ribu sekian. Dua apa tiga ratusan di antaranya ada peserta program pelayanan penyakit kronis (Prolanis)," kata Eny kepada Health Liputan6.com, ditulis Jumat (3/3/2017)

"Prolanis itu orang-orang berusia tua yang terkena diabetes, dan jantung," kata Eny menambahkan.

Jumlah peserta BPJS Kesehatan yang ia terima setiap harinya berjumlah 80 orang, dan 20 sampai 30 orang dari kategori umum. Dalam praktiknya, Eny tidak pernah membeda-bedakan antara pasien BPJS Kesehatan dan yang umum. Semuanya dilayani berdasarkan urutan antrean. Bahkan, jam bukanya saja pagi dan sore hari.

"Kami buka dari pagi (pukul 08.00 WIB) sampai jam 14.00. Kemudian dilanjut lagi dari pukul 15.00 sampai jam 21.00. Kalau pagi ditangani dokter Lilis, baru di malam harinya sama saya," kata Eny menambahkan.

Menurut Eny, semua orang yang datang kepadanya memiliki masalah yang sama, yaitu sakit dan tak sedikit yang butuh didengarkan keluh kesahnya. Sehingga tidak baik apabila dalam proses menyembuhkannya harus dibeda-bedakan karena keduanya punya hak yang sama.

"Saya tidak membeda-bedakan, tapi pada akhirnya dari yang umum berpindah menjadi pasien BPJS setelah mereka tahu bahwa kami juga melayani pasien BPJS Kesehatan," kata Eny.

"Dan rujukannya sendiri 0 persen. Alhamdulillah, kami bisa mengendalikan sendiri penyakit-penyakit yang semestinya memang harus ditangani di fasilitas kesehatan tingkat pertama, kecuali untuk penyakit seperti jantung dan diabetes. Itu membutuhkan rujukan, dan tugas kami membantu pasien mengendalikan penyakitnya dengan mengingatkan mereka setiap minggunya. Di akhir bulan, mereka kami periksa, dan alhamdulillah lagi mereka mendengarkan, sehingga gulanya dapat dikontrol," kata Eny menekankan.

Pendekatan yang Eny lakukannya cukup unik, yaitu lewat budaya dan lintas agama. Eny tak jarang menggunakan wayang yang menempel di dinding kliniknya untuk menyampaikan pesan ke pasiennya agar mampu melakukan pencegahan. Apabila sudah terkena, harus bisa mengendalikannya sehingga penyakit itu tidak berubah menjadi "serius".

Sentuhan khas Jawa di dinding klinik

"Di sini ada gamelan buat relaksasi mereka. Juga ada campur sari yang semuanya berasal dari tape (bukan musik dari alatnya langsung). Sehingga ketika mereka menunggu sambil didengarkan musik Jawa, rasanya menentramkan dan menyenangkan. Bagi mereka yang tadinya cuma sakit flu biasanya, capai-capai, menunggu di sini hasilnya ritme kelelahannya menurun dan jadinya tidak jadi sakit," kata Eny.

"Mereka sendiri yang mengakui 'Dok, tadi saya ke sini badannya panas dan capai. Setelah menunggu, malah hilang'. Rupanya, ketika mereka menunggu, mereka dapat pencerahan dan sugesti dari tempat yang nyaman," kata Eny yang juga menyediakan buku-buku untuk dibaca.

Eny maupun dokter Lilis memang tidak melulu memberikan obat ke pasien-pasiennya. Pendekatan yang berguna membantu pasien mengendalikan psikologisnya pun merupakan cara sederhana yang bisa menyembuhkan mereka. Dan itu dirasa sangat penting dan jarang dilakukan dokter-dokter dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.

Buku kesehatan dalam pandangan ajaran agama Islam, Hindu, Buda, Kristen, bahkan Khonghucu ada di klinik Eny

"Lewat agama juga. Karena saya yakin, kasus penyakit sebenarnya lebih banyak karena ketidakmampuan mengatasi stresor," kata Eny yang menyediakan buku mengenai kesehatan dalam pandangan ajaran agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, bahkan Khonghucu.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.