Sukses

Ketika Waktu Mengubah Ketakutan Menjadi Kasih Sayang

Prapti awalnya merasa takut dan bahkan sempat tak doyan makan selama satu minggu ketika pertama kali bekerja di Wisma Tuna Ganda Palsigunung

Liputan6.com, Jakarta Pepatah ‘Tak kenal maka tak sayang’ dirasa Suprapti (42) berlaku bagi dirinya. Suprapti adalah salah satu guru pembimbing yang merawat anak-anak disabilitas di Wisma Tuna Ganda Palsigunung, Cimanggis, Depok. 

Wanita yang akrab disapa Prapti ini awalnya merasa takut dan bahkan sempat tak doyan makan selama satu minggu ketika pertama kali bekerja di Wisma Tuna Ganda Palsigunung. Ia merasa kasihan dengan kondisi anak-anak rawat.

Sebagai penyandang disabilitas, anak-anak tersebut memang kurang atau bahkan tidak bisa mandiri. Setiap saat Suprapti bersama perawat lainnya harus menggotong mereka ke kamar mandi, memandikan, memakaikan baju, hingga mengganti popok mereka jika sudah penuh dengan pipis dan kotoran.

“Tapi dengan berjalannya waktu, adaptasi, penyesuaian, ya biasa aja, sih. Kangen malah kalau enggak ketemu anak-anak,” ujarnya saat ditemui oleh Health-Liputan6.com, Kamis (3/11/2016).

Usia anak-anak rawat di Wisma Tuna Ganda Palsigunung bervariasi, mulai dari 10 sampai 48 tahun. Uniknya, anak rawat yang sudah berusia dewasa pun masih diberi sebutan 'anak' karena keterlambatan berpikirnya. Tugas Prapti bersama para perawat lainnyalah untuk merawat dan melatih mereka agar mandiri.


* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Menikmati merawat anak-anak disabilitas

Menikmati merawat anak-anak disabilitas

Prapti mengawali kariernya di Wisma Tuna Ganda Palsigunung sebagai seorang perawat pada 1997, sebelum krisis moneter melanda Indonesia. Ketika itu, ia masih seorang gadis yang baru lulus kuliah. Prapti tergerak melamar sebagai perawat di wisma tersebut setelah melihat kakaknya lebih dulu bekerja di sana. Tugas itu pun lalu dilakoninya selama sembilan tahun.

Mengantongi ijazah Sarjana Pendidikan Luar Biasa yang dipersiapkan untuk mengajar anak-anak tuna wicara dan tuna rungu, tak serta-merta membuat Prapti percaya diri mengemban tugas di Wisma Tuna Ganda. Dia pun sempat kurang percaya diri menghadapi anak-anak rawat di sana yang biasanya mengalami kerusakan otak, keterlambatan berpikir, hingga lumpuh.

“Sempat merasa khawatir, bisa enggak ya saya merawat anak-anak ini, kan enggak gampang. Kalau anak tuna rungu dan wicara kan masih lebih mudah ditangani. Hanya terkendala bicara dan mendengar, dikasih alat bantu dengar juga bisa. Tapi kalau anak-anak ini tidak bisa seperti itu. Tapi, ya saya coba lagi dan lagi,” ujarnya.

Seiring berjalannya waktu rasa takut dan khawatir yang menghantui Prapti berubah menjadi kasih sayang. Hal itu terlihat ketika ia sedang mengajar salah seorang anak rawat bernama Verenisa atau Ica (8) yang mengalami lumpuh dan kerusakan otak.

Dengan penuh kelembutan dan kesabaran, Prapti menunggui Ica yang pagi itu sedang belajar memasukkan benda ke tempat yang sesuai dengan bentuk lubangnya. Jika tidak ditunggui, Ica akan mengacak-acak dan tidak mau melanjutkan belajarnya lagi.

Perhatian dan kasih sayang yang sama juga terlihat ketika Prapti menemani Yunas (21) menyusun keping-keping puzzle-nya. Anak rawat yang kondisinya hampir sama dengan Ica itu sangat senang bermain puzzle. Yunas bahkan bisa menyusun hingga 100 keping puzzle. 

Seiring berjalannya waktu rasa takut dan khawatir yang menghantui Prapti berubah menjadi kasih sayang.

Seperti itu keseharian yang dilalui Prapti di Wisma Tuna Ganda Palsigunung. Ia sangat menikmati pekerjaannya. Tak ada kendala berarti yang ditemuinya dalam mengurus anak-anak rawat. Kendala umum yang dia rasakan biasanya hanya masalah komunikasi. Rata-rata anak rawat tersebut tidak bisa berbicara, sehingga apa yang diinginkan oleh mereka tidak terdengar jelas.

“Kadang kalau mereka minta sesuatu, kita enggak paham dan kadang salah. Dikasih ini-itu kok masih nangis terus. Sampai dicoba-coba semua, akhirnya ketemu. Lama-lama jadi paham kemauan mereka. Pengasuh itu harus aktif,” tuturnya.

Tak terasa kini sudah 19 tahun ia mengabdi di tempat tersebut. Posisinya pun bukan lagi sebagai perawat, melainkan telah resmi menjadi guru pembimbing merangkap tenaga administrasi.

 

3 dari 3 halaman

Minimnya gaji tak melunturkan kasih sayang

Minimnya gaji tak melunturkan kasih sayang

Beban tugas yang diemban Prapti dengan upah yang didapat tak berbanding lurus. Gajinya sebagai perawat di wisma tersebut tergolong minim. Tapi hal itu tak membuat kasih sayangnya terhadap anak-anak rawat menjadi luntur.

Tak pernah sekali pun keinginan untuk melepas pekerjaan itu melintas di benaknya. Sebaliknya, Prapti merasakan banyak keajaiban yang ia rasakan setelah bekerja di sana. Dengan pendapatan yang seadanya itu Prapti tetap bisa menyekolahkan anak, membantu orangtua, hingga membayar kontrakan rumah.

“Kalau dihitung secara matematika memang enggak masuk logika. Gaji kita itu kecil, uang jajanlah istilahnya. Tapi kita bisa nyekolahin anak, bisa ngontrak rumah, rezeki kan bisa dari mana saja,” ujarnya. 

Prapti merasakan banyak keajaiban yang ia rasakan setelah bekerja di Wisma Tuna Ganda Palsigunung.

Sebelum bekerja di Wisma Tuna Ganda, Prapti sempat bekerja sebagai salah satu karyawan di pabrik makanan selama beberapa tahun dengan upah yang lebih besar. Tapi gaji minim yang diterimanya dari bekerja di Wisma Tuna Ganda dirasa lebih berkah dan justru membuatnya bisa lebih banyak membantu orangtua.

“Benar dulu kerja di PT (pabrik, -red.), gaji gede, tetapi saya bantu orangtua enggak seberapa. Pas saya kerja di sini, saya malah bisa ngasih lebih. Mungkin ini berkahnya. Ya enggak tahu ya, kalau dibahas, bisa enggak masuk akal," tuturnya.

Meski gaji minim, para petugas di Wisma Tuna Ganda bisa tinggal di asrama dan mendapat tunjangan makan.

“Di sini ada asrama, ada makan, ya enggak masalah. Jadi saya enggak perlu ngelurain uang untuk kontrakan. Jadi saya ambil positifnya seperti itu saja," tutur Prapti.

Bagi Prapti yang terpenting bukanlah seberapa besar upah yang didapat, melainkan berusaha tetap bertanggung jawab atas tugasnya. “Jadi yang penting saya bekerja, melakukan yang terbaik untuk anak-anak, dan bertanggung jawab. Selebihnya itu yang tahu Yang Maha Kuasa (Tuhan)," tutup Prapti.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini