Sukses

IDI: Program Studi Dokter Layanan Primer Itu Pemborosan

Aksi damai yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berlanjut ke depan kantor Kementerian Kesehatan.

Liputan6.com, Jakarta Aksi damai yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) berlanjut ke depan kantor Kementerian Kesehatan. Dalam orasinya, IDI menuntut adanya proses reformasi sistem kesehatan dari pemerintah.

"Yang kita tuntut sederhana yaitu reformasi sistem kesehatan yang pro rakyat, kami tekankan yang pro rakyat dan reformasi sistem pendidikan dokter yang pro rakyat," ujar juru bicara aksi damai dari IDI, dr. Agung Sapta Adi, SpAn, saat ditemui Health-Liputan6.com di Kantor Kementerian Kesehatan, kawasan Kuningan, Jakarta, Senin (24/10/2016).

Menurut Agung, IDI menganggap bahwa selama ini masyarakat hanya mengetahui kesalahan dokter yang sebenarnya terjadi atas sistem kesehatan yang buruk. 

"Rakyat menilai dokter yang salah padahal karut marut sistem kesehatan ini kunci pangkalnya ada pada pemerintah," tegasnya.

Pemerintah memang baru saja mengeluarkan aturan perihal pendidikan Dokter Layanan Primer (DLK). Namun keputusan ini ditolak mentah-mentah oleh IDI karena dinilai sebagai pemborosan.

"Kita tidak menolak dokter layanan primernya, yang kita tolak adalah program pendidikan atau program studi dokter layanan primer ini adalah sebuah pemborosan," ungkapnya.

Agung menegaskan, lulusan dokter umum sudah mampu untuk mengatasi layanan primer. Hanya saja ada yang harus dibenahi agar dokter umum mampu menjalankan tugasnya untuk melayani di layanan primer.

"Apa yang dilakukan dokter umum tidak bisa dijalankan dengan baik karena tidak adanya infrastruktur kesehatan yang memadai di seluruh pelosok nusantara," ungkap Agung.

Agung melanjutkan, masih ada ketidakadilan yang terjadi di sistem kesehatan Indonesia, yakni masalah pelayanan yang terlalu penuh bahkan sangat kurang.

"Ada ketidakadilan yang terjadi ada tempat yang sangat dipenuhi oleh dokter dan pelayanan kesehatan, tapi ada juga yang sangat miskin pelayanan dan dokternya," ujar Agung.

"Itu bukan salah dokter, bukan dokter yang tidak mau, tapi tidak ada sistem yang memungkinkan untuk hal itu terjadi," pungkasnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.