Sukses

Kemenkes Tangapi Studi Kebakaran Hutan di Indonesia

Kementerian Kesehatan Indonesia menanggapi studi yang dilakukan Universitas Harvard dan Universitas Columbia, terkait kebakaran hutan.

Liputan6.com, Jakarta Beberapa waktu lalu dalam laman Fox News memberitakan sebuah studi yang dilakukan Universitas Harvard dan Universitas Columbia, menyangkut penyebab kematian dini di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Dinyatakan dalam studi bahwa 100.300 kasus kematian di tiga negara tersebut berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada 2015 lalu. Metode penelitian tersebut menggunakan pengamatan dibandingkan dengan hasil observasi data satelit untuk mengestimasikan paparan asap (smoke exposure) akibat kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).

Mendengar hal ini, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH, di Kantor Kementerian Kesehatan, angkat bicara, Kamis (22/9/2016).

"Angka tersebut merupakan estimasi hasil studi, bukan angka temuan di lapangan. Kemungkinan besar dimaksudkan untuk menerangkan risiko kematian sebelum usia harapan hidup yang dapat terjadi sebagai dampak adanya kebakaran hutan dan lahan," ujar Oscar.

Hasil penelitian ini pun diterima sebagai masukan yang berharga, khususnya bagi pemerintah agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan menjadi pertimbangan kebijakan Pemerintah. Selain itu Oscar turut menyampaikan bahwa pentingnya masyarakat dalam mengetahui lebih lanjut bahaya dari kabut asap terhadap kesehatan.

Karhutla terbesar terjadi pada 2015 dan dinilai sebagai Karhutla terparah sejak 1997. Itu dikarenakan menelan 26 korban jiwa di delapan provinsi dari sejumlah 17 provinsi terdampak yang mencangkup Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Nangroe Aceh Darusalam, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Papua, dan Papua Barat.

"Tingginya kadar indeks standar pencemaran udara (ISPU) di Kalimantan dan Sumatera, dapat menjadi ancaman serius bagi kesehatan," tambahnya.

ISPU adalah laporan kualitas udara kepada masyarakat untuk menerangkan seberapa bersih atau tercemarnya kualitas udara kita dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan kita setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam atau hari.

Dampak buruk dari Karhutla

Secara umum kabut asap dapat mengganggu kesehatan seseorang, baik yang dalam kondisi sehat maupun sakit. Gangguan kesehatan yang dapat timbul jika terpapar lama dengan asap, antara lain:

1. Iritasi lokal pada selaput lendir di hidung, mulut dan tenggorokan, serta menyebabkan reaksi alergi, peradangan dan mungkin juga infeksi.

2. Iritasi pada mata dan kulit, menimbulkan keluhan gatal, mata berair, peradangan, dan infeksi yang memberat;.

3. memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik.

4. Mudah terjadi infeksi misalnya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) akibat kemampuan paru dan saluran pernapasan mengatasi infeksi berkurang.

5. Gangguan saluran cerna dan penyakit lainnya, jika mengkonsumsi makanan dan air yang terkontaminasi polutan asap.

6. Berbagai penyakit kronik di berbagai organ tubuh seperti jantung, hati, ginjal, dan lain-lain dapat memburuk. Ini terjadi karena dampak langsung maupun dampak tidak langsung yang mana kabut asap menurunkan daya tahan tubuh atau menimbulkan stres.

Kategori ISPU

Sebagai informasi, angka ISPU antara 0-50 dan 51-100 dikategorikan baik dan sedang, masing-masing tidak berdampak pada kesehatan. Angka ISPU 101-199 dikategorikan tidak sehat, karena dapat menimbulkan gejala iritasi pada saluran pernafasan. ISPU antara 200-299 dikategorikan sangat tidak sehat, karena pada penderita gangguan pernafasan, pneumonia dan jantung maka gejalanya akan meningkat. Angka ISPU antara 300-399 termasuk kategori berbahaya.

Biasanya orang yang sehat akan merasa mudah lelah dan bagi penderita suatu penyakit, gejalanya bisa menjadi lebih serius. Sedangkan angka ISPU > 400 dikategorikan sangat berbahaya bagi semua orang yang ada di wilayah tersebut.

Sayangnya, menurut Oscar masih banyak masyarakat yang belum mengerti manfaat penggunaan masker, terutama saat beraktivitas di luar rumah.

"Meskipun level ISPU masih berada di level sedang, banyak penduduk yang enggan memakai masker saat beraktivitas di luar ruangan," tambah Oscar.

Tingkat keparahan dampak kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah luas hutan dan lahan yang terbakar, durasi kebakaran hutan dan lahan, jenis lahan yang terbakar, lamanya musim kemarau dan upaya penanggulangan yang dilakukan.

Proses pemadaman kebakaran hutan dan lahan sangat terbantu dengan datangnya musim hujan. Namun, pada 2015, musim penghujan tertunda datangnya di Indonesia karena adanya fenomena El Nino. 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.