Sukses

Jangan Sepelekan Video Anak-anak Berlatih Perang

Strategi komunikasi semua pihak harus diubah untuk mencegah agar paham radikal tidak memengaruhi anak-anak dan remaja.

Liputan6.com, Jakarta Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menilai video latihan senjata yang dilakukan anak-anak Indonesia dan Malaysia di Suriah yang dirilis beberapa web radikal tidak boleh disepelekan karena merupakan bagian dari propaganda radikalisme dan terorisme.

Staf pengajar ilmu komunikasi Universitas Paramadina Jakarta ini mengatakan strategi komunikasi semua pihak harus diubah untuk mencegah agar paham radikal tidak memengaruhi anak-anak dan remaja.

"Isu ini tidak bisa diselesaikan dengan imbauan saja, harus ada ketegasan dengan menggunakan pendekatan tepat kepada anak dan remaja," katanya.

Menurut dia, keluarga sebagai lapisan pertama dalam upaya melindungi anak-anak dan remaja dari pengaruh paham radikal harus mengomunikasikan isu itu kepada anak-anaknya, termasuk risikonya, sehingga anak menjadi paham.

Komunikasi pemerintah tentang nilai-nilai asli Indonesia yang diyakini bisa menangkal radikalisme harus ditingkatkan dengan menggunakan cara-cara yang dapat diterima anak dan remaja zaman sekarang. Menurutnya, pendekatan kebudayaan dan seni masih elegan dilakukan.

Hendri mengatakan pembuat kebijakan di bidang pendidikan juga harus memikirkan strategi yang tepat untuk mencegah penyusupan paham radikal ke sekolah, baik melalui buku pelajaran maupun kegiatan sekolah.

Menurut dia, semua lembaga hendaknya mengikuti arahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai badan yang mengoordinasi penanggulangan radikalisme dan terorisme.

"Media massa juga harus mendukung program ini dengan tidak membantu menyebarkan berita atau informasi yang terkait propaganda. Cukup informasi 'cover bothside' yang bisa ditampilkan," katanya.

Sementara itu, guru besar sosiologi Islam dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Prof Dr Bambang Pranowo mengatakan penyebaran propaganda paham radikal harus mendapat perhatian serius semua pihak.

"Survei yang pernah kami lakukan lima tahun lalu menunjukkan bahwa anak-anak menyetujui tindakan radikal," kata Bambang mengacu pada hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) yang dipimpinnya.

Survei yang dilakukan pada Oktober 2010 hingga Januari 2011 itu antara lain mengungkap bahwa 52,3 persen siswa setuju dengan kekerasan untuk solidaritas agama dan 14,2 persen membenarkan serangan bom.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.