Sukses

OPINI: Penyebab Remaja Jadi Pelaku Kejahatan Seksual

Kekerasan fisik maupun seksual yang dilakukan remaja saat ini, tidak dapat hanya menempatkan remaja sebagai individu terhukum saja.

Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan pada anak dan remaja yang seringkali disebut sebagai fenomena gunung es, namun saat ini tampaknya fenomena tersebut sudah tidak berlaku lagi. Kasus demi kasus terungkap tidak hanya kekerasan fisik, emosional tetapi juga kekerasan seksual.

Berbagai liputan media baik cetak maupun elektronik melaporkan, pelaku kekerasan tersebut melibatkan remaja dan sebagian kecil lagi adalah anak. Mereka tidak segan melakukan tindak kekerasan tersebut bahkan ada pula yang bertindak di luar nalar manusia, sehingga berujung dengan kehilangan nyawa sang korban.

Pemberitaan kasus kekerasan seksual disertai pembunuhan yang terjadi pada seorang remaja putri di Bengkulu dan Lampung Timur baru-baru ini, serta beberapa kasus lainnya di Indonesia, merupakan contoh konkret.  

Hal itu membuat orang menyadari bahwa perlakuan salah tersebut bertambah nyata, dan selalu mengintai anak maupun remaja yang seharusnya kita sayangi dan lindungi. Kasus terakhir yang terjadi di Provinsi Banten melibatkan seorang remaja sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap seorang perempuan dewasa yang berujung dengan kematian.

Remaja yang seharusnya berada di bangku sekolah, mengejar cita-cita dan meniti masa depannya, justru bersikap dan berperilaku yang berisiko membuat mereka harus berurusan dengan hukum, yang seringkali membuat mereka kehilangan kebebasannya.

Apa sebenarnya terjadi dengan remaja yang melakukan tindak kekerasan seksual?

Masa remaja merupakan masa penuh gejolak baik secara fisiologis maupun psikologis, yang tentunya memberikan dampak terhadap perkembangan psikososial mereka.

Berdasarkan teori perkembangan psikososial dari Erik Erikson, remaja seharusnya berusaha mencari identitas yang positif melalui orang-orang yang mereka kenal atau orang-orang di sekelilingnya, dengan mengambil nilai-nilai untuk dianut dan dikagumi sehingga dapat menjadi bagian hidup mereka.

Identitas merupakan suatu terminologi yang merujuk pada tujuan hidup seseorang, keyakinan, dan nilai-nilai yang dianut. Semua itu tentunya terkait dengan kultur dan lingkungan di mana seorang remaja tersebut dibesarkan.

Dengan demikian,  perkembangan identitas yang sehat dan positif seharusnya menjurus pada persepsi untuk saling membantu satu sama lain, menemukan kesamaan untuk menghasilkan suatu yang positif, menemukan idealisme untuk berkembang bersama dan menghalau musuh agar dapat maju secara kolektif.

Konsolidasi semua itu merupakan salah satu faktor prediktif dalam menghasilkan individu yang mempunyai citra diri dan kesadaran diri yang lebih positif, dengan kata lain menuju ke arah kematangan diri yang optimal, baik aspek kognitif maupun kemampuan berpikir serta moralitas.

Perubahan hormonal pada masa remaja mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan baik fisik, salah satunya adalah organ reproduksi dan genitalia eksterna, serta perubahan payudara dan siklus menstruasi pada remaja perempuan.

Perubahan tersebut memunculkan dorongan seksual yang tentunya memerlukan kematangan diri yang optimal untuk mengelola dorongan tersebut, sehingga dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan positif dan bukan sebaliknya.

Konflik yang berkaitan dengan antara dorongan seksual dan penyaluran yang tidak tepat, dapat dialami oleh setiap orang, apalagi bagi remaja yang sedang dalam masa perkembangan.

Konflik tersebut bertambah runcing dengan adanya ketidakpastian akan masa depan, tuntutan lingkungan yang tidak jelas, pergulatan terhadap apa yang benar dan yang salah, tidak adanya peran model (role model) yang tepat, kultur yang memberikan kebebasan dan tanggung jawab tanpa kontrol seimbang, serta tekanan teman sebaya yang tidak dapat dikelola dengan baik, dsb.

Konflik selalu menimbulkan perasaan tidak nyaman dan bisa memicu kegelisahan dan kecemasan, apalagi konflik yang berkaitan dengan dorongan seksual yang tentunya tidak mudah diekspresikan bagi seorang remaja.

Perasaan tidak nyaman yang dialami membuat konflik tersebut harus diselesaikan baik cepat atau pun lambat. Kematangan diri yang masih berkembang, sikap keluarga dan lingkungan yang tidak memberikan dukungan positif bagi remaja, membuat mereka seringkali menyelesaikan konflik tersebut dengan tergesa-gesa tanpa memikirkan dampaknya, dengan cara-cara seperti:

(1)    Penyaluran seksual untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan diri.
Konteks ini dianggap sebagai bentuk mendapatkan afeksi dari lawan jenis. Namun, ketika hubungan tersebut mendapatkan perlawanan dari lawan jenisnya, maka remaja dengan kematangan diri yang tidak adekuat cenderung marah dan merasa tertolak, karena rasa nyaman yang diidam-idamkan tersebut terancam hilang.

Perasaan tersebut  dapat memunculkan dorongan agresi sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri, sehingga berujung pada tindak kekerasan.

(2)    Penyaluran seksual untuk menunjukkan kekuatan agar dapat diterima.
Konteks ini timbul sebagai akibat dari persepsi diri yang tidak adekuat dan merasa diri tertolak, terutama oleh kelompok teman sebaya atau kelompok lainnya. Jalan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan tersebut adalah dengan menunjukkan ‘kekuatan’ diri, yang tentunya dalam aspek negatif bukan positif.

Kondisi tersebut diperkuat oleh peran model yang dijumpai dalam kehidupan remaja sehari-hari, yang juga cenderung bersikap negatif seperti kekerasan, pelecehan, dan perendahan harga diri. Dengan kata lain remaja itu beridentifikasi dengan tokoh tersebut dan menjadikan mereka sebagai figur panutan, sehingga semua tindak tanduknya juga berorientasi pada kekerasan termasuk dalam penyaluran dorongan seksualnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Apa sebaiknya dilakukan agar dapat membantu?


Apa sebaiknya dilakukan agar dapat membantu?

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa tugas perkembangan psikososial terpenting yang harus dicapai oleh remaja adalah terbentuknya identitas diri yang sehat dan positif, agar mereka mampu meregulasi dorongan seksual yang timbul sebagai gejolak di masa tersebut, dan menyalurkannya secara tepat.

Untuk mencapai identitas yang positif, maka diperlukan keterlibatan semua pihak. Peribahasa dari Afrika menyebutkan, "It takes a village to raise a child" yang dijadikan judul buku oleh Hillary Clinton pada 1996  ini tidak dapat dipungkiri.

Semua pihak perlu bahu membahu untuk membantu remaja mencari identitas diri yang positif. Bukan hanya remaja saja yang perlu aktif mencari, namun orangtua, keluarga, dan masyarakat dalam konteks yang lebih luas perlu aktif mendukung, memberikan arahan, serta menjadi peran model yang tepat.

Catalano (2004), seorang peneliti dalam "positive youth development programs" mengkonseptualisasikan bahwa identitas diri remaja yang positif dapat dicapai melalui beberapa langkah berikut:

1.    Memberikan kesempatan bagi remaja untuk melakukan eksplorasi dan komitmen dalam kegiatan yang bermanfaat. Teori Identitas yang dikembangkan oleh James E Marcia mengemukakan, remaja sebaiknya diberi kesempatan untuk menentukan peran yang mereka inginkan, setelah mereka dipaparkan terhadap berbagai peluang dan situasi positif, sehingga mereka merasa tertantang untuk memahami kondisi tersebut, dan mendalaminya lebih lanjut sebagai bagian untuk menjawab pertanyaan ‘who am I?’.

Dengan demikian, mereka dapat mencapai kematangan sosial dan mampu menghadapi tantangan dalam kehidupan, yang salah satunya adalah mampu mengalihkan peningkatan dorongan seksual ke arah tindakan lebih tepat dalam meraih cita-cita mereka.

2.    Meningkatkan harga diri (self esteem). Remaja perlu dilatih bahwa mereka mempunyai harga diri positif dan mampu menghargai orang lain apa adanya, yang tidak tergantung dari latar belakang sosial, pendidikan atau kultur tertentu, karena semua orang adalah unik dan membawa talentanya masing-masing.

Dengan demikian, remaja mampu menghadapi diskrepansi dalam kehidupan yang lebih akurat. Mereka menjadi mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan dan patut untuk merasa bahagia.

Program latihan keterampilan hidup (life skills education) bagi remaja yang dikembangkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Kementerian Kesehatan RI dan Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM-FKUI, juga mencakup area ini sebagai salah satu moda keterampilan bagi remaja untuk meningkatkan harga diri mereka.

Perasaan harga diri yang adekuat membuat remaja mampu membedakan apa yang tepat bagi kehidupannya, dan menghargai manusia sebagaimana adanya, sehingga segala tindak kekerasan baik fisik maupun seksual dapat disaring oleh nalar mereka sebagai tindakan yang amoral dan harus dihindari.

Karena itu, kekerasan baik fisik maupun seksual yang dilakukan oleh remaja saat ini, tidak dapat hanya menempatkan remaja sebagai individu terhukum semata-mata. Namun, kita yang mungkin adalah bagian dari keluarga dan anggota masyarakat dalam konteks lebih luas perlu bertanya, apakah kita sudah bahu membahu untuk menciptakan identitas positif bagi remaja Indonesia?

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.