Sukses

Mensos: Sudah Ada Standar Nasional Perlindungan Anak

Mensos mengatakan, sudah ada standar nasional perlindungan dan pengasuhan anak, termasuk bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum.

Liputan6.com, Jakarta Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, sudah ada standar nasional perlindungan dan pengasuhan anak, baik yang di panti maupun luar panti, termasuk bagi Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).

“Pemerintah telah menetapkan Standar Nasional Perlindungan dan Pengasuhan Anak Indonesia,” ujar Mensos usai Lokakarya UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah di Kompleks Kementerian Sosial, Jakarta, melalui siaran pers Jumat, (11/3/2016).

Hingga kini, kata Mensos, panti sosial anak baru terdapat di 11 provinsi di seluruh Indonesia. Seiring dengan tuntutan dan kebutuhan akan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) tentu akan terus ditambah.

“Diperlukan kepesertaan yang aktif dari pemerintah daerah, terutama provinsi akan upaya perlindungan bagi anak, baik melalui panti maupun kebutuhan SPPA,” katanya.

Untuk mendukung pemerintah provinsi dalam penyediaan panti sosial anak dan SPPA, diperlukan dukungan dari para pekerja sosial (peksos) dan kanselor khusus anak.

“Kementerian Sosial (Kemensos) telah menyiapkan program sertifikasi bagi para calon peksos dan kanselor anak, agar mereka saat bertugas memiliki spesialisasi dan kompetensi yang mumpuni,” tandasnya.

Beberapa waktu lalau, rapat teknis pernah digelar terkait dinamika bagi anak yang mendapatkan keputusan diversifikasi di bawah 16 tahun. Tapi bagi yang dominan ke ranah pidana akan di-deliver ke Kemensos.

“Para kanselor dan peksos dalam menghadapi kondisi tersebut, harus mendalami kasus yang terjadi dan di panti didominasi kasus pelecehan seksual,” katanya.

Sedangkan, bagi anak yang tersangkut napza dan drugs trafficker sebagai bagian dari sindikat kasus narkoba. Selanjutnya akan dikirim ke rumah perlindungan atau save house Kemensos untuk direhabilitasi sosial.

“Untuk kasus ABH yang paling banyak terjadi, yaitu kasus pelecehan seksual yang berada di kisaran 70-75 persen,” lanjutnya.

Para ABH tinggal selama 6 bulan di panti, selain diberikan rehabilitasi sosial juga mereka dipersiapkan untuk dikembalikan ke pelukan keluarga dan lingkungan masyarakat.

“ABH didorong agar kembali ke pelukan kedua orangtua dan lingkungan masyarakat melalui Family Development Support (FDS) sama seperti korban napza dengan Family Group Support (FGS) agar menjadi penguatan, sehingga bisa kembali ke jalan yang benar,” harapnya.

Namun ada saja sisi lain, dari hubungan anak dengan orangtua yang luput dari perhatian. Seorang anak divonis bersalah oleh pengadilan dan baru diketahui sebab dia melanggar hukum karena merasa diperlakukan tidak adil dalam keluarga.

“Pada kondisi seperti itu, orangtua tidak merasa memperlakukan tidak adil melainkan sama terhadap semua anaknya. Tapi dampak anak merasa diperlakukan tidak adil itu, dia bertindak di luar kenormalan,” katanya.

Pada Jumat pekan lalu, saat kunjungan kerja ke Makassar, Sulawesi Selatan, ditemukan di Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) anak berumur 2, 5, dan 9 tahun yang membutuhkan rehabilitasi sosial dari zat adiktif.

“Sungguh pemandangan sangat menyedihkan sekali. Dimana, betul kata Pak Budi Waseso (Buwas) saat ini telah terjadi peremajaan pengguna narkoba yang menyasar umur sangat dini,” tandasnya.

Melihat kondisi demikian, sudah saatnya para orangtua, terutama ayah kembali ke tengah-tengah keluarga (back to family), untuk melindungi anak-anak jangan sampai menjadi korban dari kejahatan narkoba.

“Belaian kasih sayang orangtua menjadi obat paling ampuh dalam proses rehabilitasi baik pelecehan seksual, napza, ABH, dan apapun, ” katanya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.