Sukses

Belajar Move On: Merelakan Kematian Pasangan

Liputan6.com, Jakarta Perpisahan dalam hubungan menjadi kondisi yang paling tak diinginkan oleh para pasangan. Dari banyak bentuk perpisahan, kematian menjadi hal paling tragis untuk sejumlah pasangan menikah.

Psikolog anak dan keluarga, Anna Surti Ariani, dari Klinik Terpadu Psikologi Universitas Indonesia menjelaskan, fase bangkit seseorang yang tengah ditinggal oleh pasangannya bergantung dari seberapa jauh kedekatan seseorang dengan pasangannya dan juga penyebab kematian.

"Ada perbedaan seberapa dekat dia dengan pasangan dan bagaimana dia memaknai hubungan tersebut. Misal, apakah pasangannya sakit dulu atau meninggal mendadak seperti kecelakaan," ujar Nina, sapaan hangatnya, saat dihubungi Health-Liputan6.com, Minggu (14/02/2016).

Kebanyakan kasus kematian pada pasangan teramat sulit move on ketika pasangannya mati mendadak, secara mental seseorang tidak siap atas kepergian pasangan selama-lamanya.

 

"Pada pasangan menikah banyak kasus meninggal karena sakit, jadi pada pasangan mereka yang sakitnya udah lama, sedikit banyak sudah siap-siap. Tapi tergantung juga gak bisa dipatokin," jelas Nina salah satu tim psikolog di Klinik Tiga Generasi.

Menurut Nina, kedekatan hubungan baik dari segi keintiman secara psikologis dan lamanya waktu menjalin hubungan begitu berpengaruh terhadap cara individu untuk move on dari kematian pasangan mereka.

"Misalnya ngejalanin hubungan sama pasangannya baru dua bulan tapi susah banget dapetin si pasangannya, sekalinya dapet ditinggal mati yang membuat seseorang gak mudah untuk move on", tambahnya.

Dampak terburuk dari individu yang ditinggal mati pasangannya ketika ia sudah berada pada kondisi depresi. Pada pasangan menikah yang alami depresi memikirkan bagaimana melanjutkan hidup, khususnya dalam membesarkan buah hati.

Nina menjelaskan, hal yang biasanya dilakukan untuk mencermati apakah seseorang depresi atau tidak dari rasa sedih yang melanda setiap harinya, adanya perubahan pola makan yang cenderung tidak nafsu makan, atau pola tidur yang berubah hingga kehilangan konsentrasi.

"Jika keadaan itu terjadi selama minimal dua minggu berturut-turut, ada baiknya seseorang untuk konsul kepada psikolog," jelasnya.

Penanganan yang diberikan pun disesuaikan oleh kasusnya terlebih dahulu, pada beberapa kasus tidak cukup hanya satu kali pertemuan untuk saling berdiskusi.

Untuk menangani kasus kematian dalam hubungan diperlukan pengelolaan emosi untuk bisa bangkit dari kesedihan yang melanda seseorang.

"Sebetulnya mereka perlu mengolah emosinya, melihat kembali bagaimana sih sebetulnya faktor dan aspek kehilangan yang mereka rasakan. Ada orang-orang yang sebetulnya lebih berat kehilangan secara financial, dan ada lagi kehilangan teman bercerita", ujar Nina.

Supaya bisa move on dengan cepat Nina menyarankan untuk individu tidak cepat menolak atau menghindari perasaannya. Dengan benar-benar menerima seseorang punya kesempatan lebih besar untuk move on.

"Karena sebetulnya melupakan itu gak bener-bener seseorang bisa dibilang move on...," tutupnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini