Sukses

Bagaimana Membesarkan Anak Laki-laki di Dunia Patriarki?

Salah satu konsekuensi dianutnya budaya patriarki adalah ditempatkannya kaum wanita sebagai warga kelas dua.

Liputan6.com, Jakarta Kebanyakan warga masyarakat di berbagai belahan bumi yang kita diami ini menganut budaya patriarki. Budaya patriarki secara ringkas berarti menempatkan laki-laki sebagai pusat dari suatu bangunan sistem sosial. Berbagai kelompok suku, agama, dan pemerintahan sudah menganut budaya ini sejak ribuan tahun yang lalu. Memang munculnya budaya patriarki tidak terlepas dari sejarah di masa lalu saat manusia masih menjalani hidupnya dengan cara berburu. Pada waktu itu, sudah mulai dilakukan pembagian tugas antara pria dan wanita. Karena pada umumnya dianggap kuat secara fisik, kaum pria biasanya menjadi pemimpin kelompok yang menentukan berbagai keputusan yang penting bagi nasib kelompoknya.

Salah satu konsekuensi dianutnya budaya patriarki adalah ditempatkannya kaum wanita sebagai warga kelas dua. Hal ini terjadi di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam banyak kelompok masyarakat yang menganut sistem patriarki, kaum wanita umumnya mendapatkan peran di area domestik kerumahtanggaannya. Mengasuh anak, mengurusi dapur dan kebersihan rumah merupakan salah satu dari area domestik yang menjadi area yang ditentukan sebagai pekerjaan dan tanggung jawab kaum wanita. Meskipun telah ada berbagai perubahan di zaman modern ini, peran domestik wanita secara umum masih tampak cukup menonjol di berbagai kelompok masyarakat.

Berbeda dengan kaum wanita, kaum laki-laki diposisikan sebagai warga kelas satu. Mereka berhak menempati kedudukan yang lebih tinggi dalam suatu struktur hirarki dalam masyarakat. Seperti halnya yang terjadi semenjak ribuan tahun yang lalu, pada masyarakat dengan budaya patriarki, kaum lelakilah yang membuat berbagai keputusan penting dalam kelompoknya. Jika kaum wanita menjalankan tugas di area domestik kerumahtanggaan, kaum lelaki menjadi perpanjangan tangan kelompok termasuk keluarganya di tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebutan kepala keluarga mengokohkan  peran yang mereka sandang ini.

Terkait dengan budaya patriaki yang juga dianut oleh sebagian masyarakat kita, ada hal yang perlu diperhatikan dalam konteks pengasuhan pada anak khususnya anak laki-laki. Memiliki anak laki-laki dalam budaya patriarki banyak yang dipandang sebagai suatu hal yang membanggakan. Pandangan ini tentu saja berkaitan dengan keyakinan bahwa laki-laki akan menduduki kelas utama.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Hal-hal yang patut diperhatikan

Meskipun demikian, ada hal-hal yang sebenarnya juga patut diperhatikan pada orangtua saat membesarkan anak laki-laki mereka dalam masyarakat patriarki. Beberapa hal tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Belajar menghargai kaum wanita

Bahaya pertama yang mengancam kaum lelaki pada budaya patriarki adalah jika dia kehilangan kemampuan menghargai kaum wanita. Karena menganggap kaum wanita sebagai kelas dua, banyak kaum lelaki yang meremehkan kehadiran kaum wanita dalam kehidupan sehari-hari. Di jawa misalnya ada istilah konco wingking  yakni teman yang berperan (hanya) di area belakang (domestik) untuk menyebut kaum wanita. Bagi banyak kaum pria, wanita juga seringkali dianggap tidak layak mendapatkan fasilitas dan kesempatan yang sama dalam pekerjaan dan pendidikan. Tentu saja pandangan tersebut perlu untuk diperbaiki di zaman sekarang. Kaum pria perlu menghargai eksistensi kaum wanita. Pada kenyataannya, sekarang ini wanita dapat berperan dalam bidang-bidang yang sebelumnya diyakini hanya bisa dikerjakan oleh kaum pria saja. Ada wanita yang menjadi politisi, presiden, perdana mentri, dan sebagainya. Saat seorang anak laki-laki diajarkan untuk menghargai wanita, mereka akan belajar menghargai dan tidak merendahkan orang lain. Mereka akan belajar untuk menjadi pribadi yang sehat secara psikologis yang menjalankan kehidupan dan memperjuangkan cita-cita kehidupannya tanpa mengabaikan kehadiran dan peran dari sosok-sosok lainnya yang pada kenyataannya memang hadir dan berperan dalam kehidupannya. Dan bukankah di balik pria yang kuat dan berhasil seringkali akan dijumpai sosok-sosok wanita luar biasa yang mendukung di belakangnya?

  1. Menyadari juga kewajiban kaum yang menempati posisi tinggi dalam suatu hirarki

Dalam masyarakat yang tersusun secara hirarki, mereka yang berada di puncak-puncak hirarki memang memiliki hak yang lebih besar dibanding mereka yang menempati posisi yang lebih bawah untuk mendapatkan berbagai sumber demi kepentingannya. Akan tetapi, ada yang sering dilupakan. Mereka yang berada puncak-puncak hirarki juga memiliki kewajiban yang harus dilakukan. Mereka harus menjadi pelindung dan menjamin bahwa yang menempati posisi di bawahnya juga mendapatkan sumber-sumber yang mereka perlukan. Jika hanya mengambil hak dan melupakan kewajiban, sistem hirarki yang tersusun dalam masyarakat akan rapuh dan menjadi goncang. Orangtua yang membesarkan anak laki-lakinya dalam masyarakat berbudaya patriarki perlu mengajarkan kepada anaknya tersebut agar menyadari kewajiban sebagai lelaki dalam sistem patriarki. Mereka perlu diajarkan untuk tidak sewenang-wenang bahkan melindungi kaum wanita. Keistimewaan posisi yang dimilikinya perlu dibarengi dengan pelaksanaan kewajiban melindungi mereka yang menempati posisi hirarki di bawahnya. Jika mereka tidak mampu memberikan perlindungan, sebaiknya mereka tidak menempatkan dirinya dalam posisi puncak hirarki dalam kelompoknya.

  1. Belajar mengekspresikan kelemahan dan ketidakmampuan

Seringkali kita mendengar orangtua yang berkata pada anak lelakinya agar tidak menangis atau menampakkan kelemahan diri meskipun anak tersebut sedang mengalami kesakitan atau kesedihan. Hal ini sebenarnya merupakan beban sosial bagi anak laki-laki. Berbeda dengan wanita yang akan cenderung mudah diterima secara sosial saat menampakkan kelemahannya, kaum lelaki justru dituntut untuk tampak kuat. Hal ini dalam jangka panjang akan merugikan kaum lelaki sendiri. Menangis dan perilaku lain yang seakan-akan menunjukkan kelemahan sebenarnya merupakan mekanisme natural ketika seseorang mengalami tekanan psikologis. Mekanisme ini akan menyiptakan keseimbangan kembali setelah seseorang mengalami tekanan psikologis. Dilarangnya kaum lelaki di budaya patriarki mengekspresikan emosi negatif akibat tekanan psikologis menyebabkan mereka akan mengalami dampak tekanan psikologis secara berkepanjangan. Bukannya menjadi lebih kuat, hal ini akan menyebabkan kaum lelaki di budaya patriarki tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih rapuh. Oleh karenanya, orangtua perlu memberikan ruang bagi anak-anak laki-laki mereka saat mereka merasakan tekanan psikologis. Tidak perlu menuntut mereka tampak kuat namun jutru dengan memperbolehkan mereka menunjukkan hal yang dianggap sebagai kelemahan, anak-anak ini akan tumbuh menjadi peribadi yang lebih kuat dan memiliki keseimbangan psikologis dalam dirinya.

Yohanes Heri Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Pemilik PAUD Kerang Mutiara, Yogyakarta

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini