Sukses

Rumah Sakit Mesti Patuhi Standar Obat yang Berlaku

Dinkes Provinsi Riau meminta rumah sakit harus menggunakan standar obat yang mengacu pada INA CBGs-BPJS Kesehatan untuk peserta BPJS

Liputan6.com, Jakarta Dinas Kesehatan Provinsi Riau meminta rumah sakit harus menggunakan standar obat yang mengacu pada INA CBGs-BPJS Kesehatan untuk melayani peserta jaminan sosial kesehatan dengan lebih baik lagi.

"Ini harus dilakukan bersamaan dengan pihak BPJS Kesehatan sendiri sudah mulai melakukan berbagai pembenahan pelayanan obat," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau, Zainal di Pekanbaru.

Ia mengatakan itu terkait dua bulan setelah BPJS berlaku, banyak kendala yang dihadapi, salah satunya penanganan layanan obat kepada peserta. Sedangkan paket biaya yang terdapat dalam INA-CBGs belum mengakomodir penyakit kronis tertentu seperti obat kemoterapi dan hemophilia.

Namun untuk kondisi demikian sudah bisa diatasi bersaman dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan No. 31 tahun 2014 tentang Pelaksanaan Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dan SE No. 32 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan bagi Peserta BPJS Kesehatan.

Menurut Zainal, berdasarkan SE Menkes tersebut maka sekarang peserta BPJS Kesehatan sudah bisa mendapatkan obat kronis untuk 30 hari.

"Akan tetapi seluruh perencanaan obat RS harus sesuai dengan kebutuhan," katanya dan menambahkan pertemuan antara RS dengan pihak Farmasi ini yang didukung Kepala BPJS Kesehatan Divre II Sumbagteng, Benjamin Saut PS, petning digelar.

Sebab, katanya lagi pertemuan pihak RS dengan Farmasi penting dilakukan karena peran farmasi cukup besar dalam mendukung pelayanan kesehatan di RS.

Sementara itu, Zainal mengakui ada beberapa permasalahan yang terjadi di RS tentang perencanaan obat, antara lain usulan kebutuhan obat yang diajukan RS terhadap ketersediaan obat tidak sesuai dengan kondisi pembelian obat dari RS ke E-Catalog. Masalah obat lainnya adalah ketidak sanggupan perusahaan obat untuk memenuhi kontrak

"Permasalahan obat di RS adalah hanya 15 persen dari kebutuhan yang diajukan atau dipesan RS ke E-catalog. Berikutnya 85 persen dari kebutuhan obat yang disediakan perusahaan farmasi tidak terpakai sehingga dijual ke pasaran dengan harga murah," katanya.

Namun demikian penyusunan kebutuhan obat sebenarnya sudah tepat berdasarkan angka penyakit ditahun sebelumnya, dan RS juga sudah harus melakukan acuan standar obat ke INA CBJS.

Oleh karena itu, katanya, pengadaan obat juga harus dilakukan dengan perencanaan yang baik, sesuai kebutuhan dan mengingat efisiensi anggaran karena menjadi pantauan dan pemeriksaan BPK, BPKP dan KPK.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini