Sukses

Bagaimana Psikolog Tanggapi Fenomena Stay-at-home-dads?

Pernahkah Anda mendengar istilah stay-at-home-dads, di mana seorang ayah yang mengurusi anak dan rumah? Berikut ulasannya

Liputan6.com, Jakarta - Fenomena stay-at-home-dads menjadi perhatian khusus belakangan ini karena fungsi seorang ayah telah berubah cukup drastis.

Bila dulu ayah (daddy) menjadi sosok paling tangguh karena harus bekerja dari pagi hingga malam hari untuk mencari nafkah demi menghidupkan istri dan anaknya, kini tidak sedikit ayah yang justru mengambil alih pekerjaan ibu untuk mengurusi si buah hati dan pekerjaan rumah lainnya.

Psikolog Anak dan Keluarga Roslina Verauli mengatakan jika berbicara stay-at-home-dads, kita membicarakan berbagai macam dimensi di mana fungsi atau peran ayah yang sudah berubah.

Selain itu, sejumlah kondisi pun dapat mengartikan apa itu sebenarnya stay-home-dads.

"Pertama, bisa jadi yang tadinya ayah yang bekerja, kemudian secara tiba-tiba diberhentikan dari pekerjaannya sehingga harus tinggal di rumah. Akhirnya, yang harus menafkahi keluarga adalah ibunya. Kondisi semacam ini juga bisa disebut dengan stay-at-home-dads," kata Vera kepada Health-Liputan6.com saat berkunjung ke kediamannya yang berada di kawasan Jakarta Barat, (2/2/2015) malam.

Lebih lanjut Vera menjelaskan bahwa ada juga sejumlah keluarga yang merasa bahwa pendapatan istri jauh lebih besar ketimbang suaminya, sehingga membuat si suami merasa butuh pemasukan yang lebih dari tempat yang lain, namun harus menunggu beberapa waktu. Di saat menunggu inilah yang membuat suami harus di rumah mengurusi si buah hati, dan membiarkan pasangannya bekerja.

"Di mana potensi seorang ibu dalam menghasilkan uang jauh lebih besar, yang membuat si ayah mencari kesempatan baru dengan menunggu beberapa saat, itu juga dapat dikatakan stay-at-home-dads," kata Vera menambahkan.

Stay-at-home-dads, terang Vera, juga dapat dialami oleh seorang suami yang dari awal terpaksa harus berada di rumah karena memiliki satu penyakit tertentu, sehingga tidak mampu bekerja dan mencari nafkah. Apabila sudah seperti ini, secara otomatis istrinyalah yang harus banting tulang mencari pundi-pundi agar keluarga kecilnya dapat hidup tanpa kekurangan.

Sebagai seorang psikolog, Vera menilai fenomena stay-at-home-dads ini sesuatu yang normal dan manusiawi. Hanya saja, sosial, budaya, dan masyarakat sekitar masih menganggap ini adalah hal yang `aneh`.

Maklum, pola pikir tradisional (zaman dahulu) masih begitu melekat di diri kita. Di mana kita menganggap seorang ayahlah yang seharusnya menjadi penafkah utama dengan cara bekerja dan menghasilkan uang, bukan seorang ibu yang mungkin saja bebannya sudah cukup berat untuk mengandung si buah hati selama sembilan bulan, dan harus mengurusinya lagi ketika lahir ditambah turut mengurusi rumah dan suami tercinta.

"Kalau menggunakan pola pikir tradisional, seorang ayah diharapkan untuk selalu ada di luar rumah, yaitu di kantor, menghasilkan pendapatan dan menafkahi keluarganya," kata Vera.

"Jadi, ketika peran ini diubah, masyarakat akan merasa bahwa peran ayah sesungguhnya mengalami malfungsi," kata Vera menambahkan.

Apabila kita melihat lagi ke belakang, sekitar 1 sampai 2 dekade yang lalu, para istri pun memulai untuk hidup `mandiri` dengan cara bekerja. Itu berarti ada dua penafkah di dalam rumah.

"Namun, ada kalanya si suami mendapatkan kerja yang shift-shift-an. Si istri di pagi hari, dan si suami di malam hari. Ini juga bisa disebut dengan stay-at-home-dads, dan ini normal," kata Vera menekankan.

Lagipula, tak sepatutnya diambil pusing kondisi stay-at-home-dads yang tengah marak dua tahun belakangan ini. Karena seharusnya, mau ayah di rumah yang lebih banyak dari pada ibu dalam hal pengasuhan, tidak akan jadi masalah.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.