Sukses

Mendampingi Anak Korban Kekerasan

Yang tambah memprihatinkan, kasus kekerasan yang melibatkan teman sebaya tidak hanya terjadi di pendidikan tinggi

Liputan6.com, Jakarta Munculnya berbagai kasus kekerasan pada anak tentunya membuat orangtua dan masyarakat menjadi semakin khawatir. Pelaku kekerasan dapat berasal berbagai pihak. Selain orang dewasa, kekerasan juga sering dilakukan oleh mereka yang usianya sebaya dengan anak.

Yang tambah memprihatinkan, kasus kekerasan yang melibatkan teman sebaya tidak hanya terjadi di pendidikan tinggi namun kini juga mulai merambah ke pendidikan dasar.

Fenomena ini semestinya mendorong mereka yang bertanggung jawab dalam perkembangan anak antara lain orangtua dan guru untuk lebih intensif dalam mendampingi anak. Dari sisi korban, bagi mereka yang menjadi korban kekerasan, akan muncul dampak psikologis yang perlu untuk segera tangani oleh orangtua dan para guru. Anak korban kekerasan biasanya akan berubah menjadi anak yang lebih pendiam, pasif, dan murung.

Dalam banyak kasus lain, mereka menjadi lebih sensitif dan mudah tersinggung secara emosional. Dampak ikutan lainnya adalah menurunnya prestasi, minat, dan kreativitas anak. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi masa depan anak.

Bagi orangtua atau guru yang sedang menemani anak korban kekerasan, ada beberapa hal yang dapat dilakukan:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 6 halaman

1. Membangun komunikasi

1. Membangun komunikasi konstruktif dengan terbuka dengan anak
Anak korban kekerasan umumnya akan menutup dirinya dari dunia luar. Dalam kasus seperti ini, orangtua dan guru perlu menjadi pihak yang mulai membuka komunikasi dengan anak. Komunikasi yang dibangun sebaiknya bukan komunikasi yang berpotensi mengancam anak.

Orangtua dan guru perlu menghindarkan diri dari sikap menginterogasi atau bahkan yang terjadi dalam beberapa kasus justru menempatkan anak pada pihak yang bersalah. Yang perlu diingat adalah bahwa tujuan komunikasi dalam konteks ini bukanlah semata-mata mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.

Tujuan komunikasi bukan juga untuk memuaskan kebutuhan orangtua atau guru untuk memberikan berbagai nasehat pada anak. Tujuan komunikasi adalah menyembuhkan luka batin yang mungkin masih dialami anak sesudah mengalami kekerasan. Maka penerimaan tanpa syarat harus menjadi dasar dalam komunikasi ini.

3 dari 6 halaman

2. Mengembalikan harga diri anak

2. Mengembalikan harga diri anak
Mereka yang mengalami kekerasan biasanya akan jatuh harga dirinya. Dalam banyak kasus, kejatuhan harga diri bahkan sampai pada titik yang terendah sepanjang hidupnya. Pelecehan dan penganiayaan yang mereka alami membuatnya merasa tidak lagi berharga. Imbasnya kepercayaan diri yang selama ini dimilikinya pun seakan ikut runtuh. Dalam kasus seperti ini, orangtua dan guru perlu mengembalikan harga diri anak.

Pertama-tama adalah mengajak anak menerima kenyataan bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan. Penerimaan suatu realita meskipun terasa pahit akan jauh lebih baik daripada menolaknya. Kemampuan menerima peristiwa pahit dalam hidup, jika pada akhirnya dapat dilakukan, juga merupakan tanda kedewasaan diri seseorang.

Sesudah anak dapat menerima kenyataan tersebut, orangtua dan guru kemudian perlu meyakinkan anak bahwa dirinya akan mampu meminimalkan dampak kekerasan yang dialaminya sehingga tidak akan sangat mempengaruhi kehidupannya secara lebih jauh.

Salah satunya adalah dampak yang berhubungan dengan bagaimana sang anak melihat dirinya sendiri saat ini. Anak perlu diajak bahwa dirinya tetaplah berharga. Apa yang dilakukan orang lain tidak akan sangat mempengaruhi kehidupannya jika dia tidak mengizinkannya. Artinya, bagaimana dia melihat dirinya dapat relatif dia kendalikan sendiri.

Harga diri juga dapat mulai dibangun kembali lewat mempercayakan berbagai tanggung jawab pada anak. Sebaiknya dimulai dengan tanggung jawab yang sederhana dan semakin lama menjadi semakin kompleks. Saat anak mampu menyelesaikan apa yang menajdi tanggung jawabnya, orangtua dan guru perlu memberikan pengakuan dan penghargaan atas apa yang dicapai anak. Seandainya gagal pun, orangtua dan guru perlu mendorong anak agar tidak patah semangat dan kembali berusaha.

4 dari 6 halaman

3. Mendorong anak memaafkan pelaku

3. Mendorong anak untuk memaafkan pelaku
Dendam dan amarah adalah emosi negatif yang akan membebani individu yang mengalaminya. Beban ini akan terus menggerogotinya seumur hidup. Cara paling bijaksana adalah meletakkan beban tersebut untuk kemudian melanjutkan hidup dengan lebih ringan.

Para korban tindak kekerasan perlu didorong untuk memberikan maaf pada pelaku. Memberikan maaf bukan berarti membiarkan tindakan kekerasan tersebut terulang kembali atau melepaskan pelaku dari tanggung jawab atas tindakannya di masa lalu.

Memberikan maaf berarti tidak lagi menyimpan dendam dan amarah terhadap pelaku dan membiarkan semua beban dalam dirinya pergi dan berlalu. Memaafkan pada awalnya adalah jalan terjal dan mendaki namun pada akhirnya akan bermuara pada jalan teduh dan mendewasakan.

5 dari 6 halaman

4. Melatih anak bersikap asertif

4. Melatih anak bersikap asertif
Orangtua dan guru perlu mendorong anak korban tindak kekerasan untuk bersikap asertif. Sikap asertif artinya berani mengungkapkan pendapat keinginan dan pendapat pribadinya meskipun seringkali bertentangan dengan apa yang menjadi keinginan dan gagasan orang lain termasuk keinginan dan gagasan mereka yang menjadi pelaku tindak kekerasan.

Sikap asertif dan agresif sering dianggap sama namun sebenarnya berbeda dalam hal cara. Keduanya dapat saja merupakan ungkapan ketidaksetujuan. Jika sikap agresif mengungkapkan ketidaksetujuan lewat unsur menyerang pendapat orang lain, maka sikap asertif melakukannya dengan cara yang lebih dewasa. Sederhananya berani mengatakan tidak namun tanpa menyerang pendapat yang berbeda.

6 dari 6 halaman

5. Mendorong anak kembai aktif

5. Mendorong anak kembali aktif dalam kehidupannya
Anak-anak yang menjadi korban kekerasan biasanya mengalami masalah sosial. Mereka biasanya akan lebih suka meminimalkan relasi dengan orang lain dan hidup dalam dunianya sendiri.

Orangtua dan guru perlu untuk mendorong anak-anak ini keluar dari sekat-sekat yang dibangunnya. Dukungan sosial dari teman-teman lainnya sangat dibutuhkan. Mereka dapat mulai diajak untuk melakukan aktivitas yang mengharuskannya bekerja dan berkomunikasi bersama dengan orang lain. Jika hal ini dapat dilakukan, kepercayaan diri anak dan kepercayaan anak kepada orang lain yang sebelumnya retak perlahan akan menjdi pulih kembali.

Y. Heri Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara Yogyakarta

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

    Video Terkini