Sukses

Indonesia Alami Kelangkaan Radioisotop

Ketua BATAN, mengatakan, keadaan reaktor kita baik-baik saja. Namun, Indonesia tengah mengalami kelangkaan radioisotop

Liputan6.com, Jakarta Sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia tengah mengalami kelangkaan radioisotop. Padahal, radioisotop dapat dimanfaatkan untuk diagnosa dan terapi dari suatu penyakit.

Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto, menceritakan,"Saya baru saja pulang dari Australia untuk menghadiri Forum Kerjasama Nuklir Negara Asia. Memang, di banyak negara di Asia, termasuk Indonesia, ada kelangkaan radioisotop."

Karena negara kita memiliki reaktor nuklir, lanjut Djarot, Indonesia sangat diharapkan mampu memberikan kontribusi lebih, paling tidak pada regional Asia. Sebab, reaktor nuklir ini yang menghasilkan radioisotop.

"Kalau radioisotop dimasukkan ke dalam tubuh, dapat mengetahui aliran darah atau ketidakberesan pada jantung, atau untuk mencari tahu di mana posisi adanya kanker," kata Djarot di Kantor Pusat BATAN, Lantai 2, Gedung A, Jalan KH. Abdul Rokhim, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (21/11/2014)

Lebih lanjut dia mengatakan, hingga beberapa tahun lalu, semua produksi radioisotop dilakukan di dalam negeri, untuk digunakan di sejumlah rumah sakit yang memiliki kedokteran nuklir di Indonesia.

"Namun, karena supply dari PT Inuki atau PT Nuklir Indonesia berhenti, akhirnya yang terjadi adalah import radioisotop," kata dia. "Jadi, PT Inuki itu membuat radioisotopnya di reaktor Batan di Serpong, diproses, lalu dijual di sejumlah rumah sakit," kata Djarot menerangkan.

Akibat dari PT Inuki yang dahulu bernama PT Batan Teknologi tidak lagi berproduksi, maka Indonesia terpaksa import dari sejumlah negara yang harganya dibandrol dua kali lipat dari harga semula. "Untuk orang kaya di Indonesia sih, mungkin tidak begitu masalah. Tapi, kasihan juga pasien-pasien yang tidak mampu," kata Djarot.

Misalnya saja yang terjadi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat. Mau tidak mau RSHS harus mengimpor radioisotop dari Australia atau Polandia yang harganya sangat mahal.

"Dia kan harus mengelolah ratusan orang, dan memanfaatkan radioisotop untuk diagnosa kanker, jantung, aliran darah, masalah tulang, dan lain-lain. Jadi, karena PT Inuki telah berhenti berproduksi, jadi harus beli dari dua negara tersebut," kata Djarot menerangkan.

Padahal, semenjak adanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), sudah tidak boleh berpikir untung dan rugi. Namun di sisi lain, makin banyak pasien yang membutuhkan, sementara pembiayaan yang harus dikeluarkan jadi lebih mahal.

Selanjutnya: Reaktor kita baik-baik saja

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Reaktor BATAN Baik-baik Saja


Reaktor kita baik-baik saja

Secara terbuka Djarot, mengatakan, kalau reaktor kita dalam keadaan baik-baik saja. Bila ada yang berpendapat bahwa reaktor yang kita miliki rusak, sehingga berakibat pada radioisotop tidak bisa diproduksi, tidak benar sama sekali.

"Padahal tidak, karena reaktor kita baik-baik saja. Saat ini, usianya 27 tahun. Usia segitu seperti masih remaja, dan kondisinya masih bagus," kata Djarot.

"Dari sisi Batan, tidak ada masalah sekali," kata Djarot menambahkan.

Namun, dikarenakan dalam perundang-undangan Nomor 10 Tahun 1977 disebutkan Batan tidak boleh menjual radioisotop atau apa pun secara komersil ke luar negeri, maka semua itu diserahkan ke pihak Badan usaha Milik Negara (BUMN).

Menurut Djarot, inilah yang kini menjadi konsentrasi Batan. Bahkan, pihak Batan sudah melakukan komunikasi dengan Kementerian Kesehatan dan Asosiasi Kedokteran Nuklir di Indonesia untuk bagaimana cara agar bisa kembali ke produksi dalam negeri lagi.

"Tugas Batanlah untuk mendorong itu," kata Djarot menekankan.

3 dari 3 halaman

Reaktor Serba Guna GA Siwabessy



Reaktor Serba Guna GA Siwabessy (RSG-GAS)

Reaktor Serba Guna GA Siwabessy (RSG-GAS) merupakan salah satu reaktor riset yang dimiliki oleh Indonesia, dan telah beroperasi selama 27 tahun.

Jika dibandingkan dengan reaktor milik Amerika Serikat yang telah mencapai usia 40 tahun, maka usia reaktor di Indonesia tergolong masih muda.

Djarot, menjelaskan, reaktor berkapasitas 30 MegaWatt Thermal ini digunakan sebagai kegiatan produksi radioisotop untuk keperluan kesehatan (radiologi dan farmaka), industri, penelitian, dan beberapa aplikasi nuklir lainnya.

Di samping itu, RSG-GAS juga digunakan untuk analisis unsur dengan menggunakan Analisa Aktivasi Neutron (AAN).

Saat ini, RSG-GAS dalam kondisi prima dalam memberikan layanan terbaik kepada pengguna jasa irradiasi sesuai dengan jadwal yang tersedia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.