Sukses

Kekerasan Seksual pada Anak Sudah Jadi Momok

Liputan6.com, Jakarta Kekerasan seksual pada anak di Indonesia derajat kasusnya tampak makin berat dan menjadi momok yang menakutkan karena bisa terjadi di mana saja dengan pelaku yang dianggap sebagai pelindung anak-anak.

Beberapa waktu lalu perhatian publik sempat tersita oleh dua kasus dugaan kekerasan seksual anak di Jakarta Internasional School dan kasus serupa dengan tersangka Emon yang terjadi di Sukabumi.

Kasus lain kemudian muncul pada Oktober 2014 ini di Jakarta Timur, menunjukkan perlunya deteksi dini masyarakat untuk mengenali lingkungan sosial anak-anak mereka sendiri dan anak-anak dari tetangga mereka.

"Dalam seminggu yaitu pada tanggal 6 dan 8 Oktober 2014 kami menerima dua laporan kasus kekerasan seksual terhadap anak," kata Kasubdit Humas Polres Metro Jakarta Timur Kompol Sri Bhayangkari di Jakarta, Kamis.

Kasus yang yang saat ini ditangani oleh Kepolisian Resort Metro Jakarta Timur tersebut menimbulkan rasa prihatin dari berbagai pihak pasalnya yang menjadi korban adalah anak kandung pelaku sendiri.

"Kasus ini sungguh memprihatinkan karena para pelaku adalah orang terdekat korban yakni ayah kandungnya sendiri bahkan salah satu korban telah menjadi objek kejahatan seksual ayahnya sejak duduk di bangku kelas empat SD hingga remaja dan memiliki anak," katanya.

Dengan serta-merta berbagai pihak mempertanyakan efektivitas dari Pasal 81 dan 82 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 287 ayat (1), dan Pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak karena tidak sedikit yang berpendapat aturan tersebut tidak membuat jera.

Dilihat dari isinya, Pasal 81 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2002 menyebut setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannnya atau dengan orang lain, dipidana dengan pindana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

Sementara, Pasal 82 UU No. 23 Tahun 2002 berbunyi setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta.

KUHP pasal 287 ayat (1) menyebut barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Kemudian Pasal 292 KUHP menyebut orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Mengacu pada hukuman pidana penjara dan denda, terutama Pasal 81 ayat (1) dan Pasal 82 pada Undang-Undang Perlindungan Anak, ancaman terhadap tindak kejahatan kekerasan seksual tergolong keras.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 4 halaman

Kelainan seksual

Kelainan seksual

Kuat dugaan para pelaku pelecehan terhadap anak kandung tersebut memiliki kelainan seksual (papaphilia) seperti pedofilia dan incest yang dipicu oleh berbagai faktor sehingga mempengaruhi kejiwaan orang yang bersangkutan.

"Dilihat dari prilaku para tersangka yang melakukan pelecehan terhadap anak kandung tersebut, diduga kuat mereka mengalami gangguan mental yang disebut paraphilia berupa pedofilia dan incest," kata Kasandra Putranto, praktisi kejiwaan forensik dan klinis.

Pedofilia, mengutip Ensiklopedia Britannica, adalah gangguan psikoseksual pada orang dewasa yang mengalami fantasi seksual tentang atau melibatkan tindakan seksual terhadap anak praremaja, baik sesama jenis kelamin atau berbeda jenis kelamin.

Sedangkan incest, dengan mengutip dari karya yang sama dikatakan adalah perilaku kelainan seksual dengan melibatkan kerabat dekat yang dilarang untuk menikah oleh hukum dan pada umumnya pelaku memiliki hasrat tersebut karena pelarangan tersebut.

Kasandra mengatakan paraphilia tersebut bisa terjadi karena berbagai faktor seperti pengalaman seseorang yang pernah menjadi korban prilaku pedofilia atau bisa juga karena kegemarannya menonton film porno sampai pada tingkat kecanduan.

"Prilaku tersebut bisa terjadi karena pelaku menerima perlakuan sama di masa lalunya atau bisa juga karena pelaku kecanduan film porno dan didukung oleh lingkungan yang kurang baik," kata perempuan yang merupakan pendiri sekaligus pemilik dari klinik psikologi Kasandra & Associates.

Dia juga menjelaskan gangguan kejiwaan seorang pedofil sulit dihilangkan dan hanya bisa dikendalikan terlebih ketika orang tersebut mengidap pedofilia sejak berusia muda dan gangguannya mulai meningkat seiring dengan pertumbuhan produksi hormon seksual.

"Penyakit kejiwaan tersebut disebabkan banyak faktor seperti psikososial atau biologis seperti kadar hormon abnormal, khromosom abnormal, dan sebagainya," katanya.

 

3 dari 4 halaman

Opsi penambahan hukuman

Opsi penambahan hukuman

Ketua KPAI Asrorun Niam Sholeh mengatakan hukuman yang bagi tersangka kekerasan seksual pada anak yang ada sudah sesuai mekanisme seperti yang diatur dalam Pasal 81 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Asrorun menjelaskan hukuman tersebut memang maksimal 15 tahun, namun ada opsi penambahan hukuman sebanyak sepertiga dari jumlah maksimal hukuman yang dijatuhkan oleh hakim jika pelakunya adalah orang tua sendiri.

"Karenanya Undang-Undang itu memberi mandat pemberatan hukuman bagi pelaku sebanyak sepertiga dari jumlah hukuman jika yang bersangkutan adalah orang tuanya," ujarnya.

Dia mengatakan pemberatan hukuman tersebut dibuat sebagai payung hukum untuk melindungi anak dari kekejaman orang tua yang seharusnya memenuhi hak dasar dan memastikan perlindungannya.

Sementara itu Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak perlu ditingkatkan dan sepatutnya diberlakukan kebiri melalui suntik kimia untuk menimbulkan efek jera.

"Kekerasan seksual terhadap anak ini merupakan kejahatan kemanusiaan, seharusnya hukuman kepada pelaku setimpal atau dihukum berat maksimal seumur hidup, minimal 20 tahun, dan ditambah pemberatan hukuman kebiri melalui suntik kimia," katanya.

Ia menjelaskan, saat ini, hukuman kebiri melalui suntik kimia sudah diberlakukan di beberapa negara antara lain Korea Selatan, Malaysia, dan Turki.

Namun sayang pada saat diusulkan hukuman kebiri ini, kata dia, respon dari Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kurang antusias.

"Respon DPR dalam perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindung Anak, hanya meningkatkan minimal hukuman tiga tahun menjadi lima tahun penjara, sementara hukuman maksimalnya masih 15 tahun," ujarnya.

4 dari 4 halaman

Efek kejiwaan yang parah

Efek kejiwaan yang parah

Dengan semakin maraknya kasus kekerasan seksual pada anak kandung dapat dipastikan akan menimbulkan efek kejiwaan yang parah pada korban sehingga dibutuhkan penanganan yang serius.

Kasandra Putranto menjelaskan anak-anak korban kekerasan seksual harus mendapatkan penanganan medis dan dukungan sosial dari masyarakat sekitar dalam waktu yang lama dan terus menerus karena trauma yang dialaminya tersebut akan membuat emosinya kurang stabil.

Penanganan yang diberikan pada korban harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan berupa sharing pada orang terdekat agar menimbulkan lagi rasa percaya dirinya. "Dengan emosi yang kurang stabil korban kekerasan seksual ini bisa melakukan jalan pintas seperti bunuh diri," katanya.

Selain itu perlu adanya upaya dari semua pihak agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali seperti sosialisasi masif dan berkelanjutan serta program edukasi kepada semua golongan masyarakat mengenai pencegahan kejahatan terhadap anak dan tindakan-tindakan serta hukuman bagi pelaku.

Berikutnya, respon cepat dari semua pihak, terutama kalangan pemerintah dan kepolisian, bila ada kasus pelecehan atau kekerasan terhadap anak.

Selain itu perlunya peran seluruh anggota keluarga untuk memberikan keterampilan kepada anak sehingga mereka menjadi bersifat 'asertif'.

"Ketika anak bersikap asertif, anak mampu dan berani mengungkapkan perasaannya dengan tepat lewat ungkapan maupun sikapnya," kata Kasandra.

Ketika dia merasa tidak nyaman dia akan menolak perlakuan yang diterimanya. Selain hal tersebut anak juga harus didukung informasi yang berkaitan dengan apa itu kekerasan, bentuknya bagaimana dan harus melapor kepada siapa ketika terjadi tindakan kekerasan apapun bentuknya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.