Sukses

Presiden SBY Diharapkan Segera Setujui FCTC

Ratifikasi FCTC merupakan kado indah untuk anak Indonesia

Liputan6.com, Jakarta Pemilihan presiden baru yang telah berlangsung diharapkan bukan hanya bersifat seremonial, tetapi juga momentum untuk mendorong pemenuhan hak anak. Seperti misalnya mencegah dan menghindarkan anak dari paparan asap rokok dengan segera meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Produk Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
 
Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia, Hery Chariansyah dalam surat elektronik yang diterima Liputan6.com mengatakan harapannya di hari Anak Nasional bahwa FCTC merupakan kado yang indah bagi anak Indonesia.

“Ini sebagai kado yang indah bagi anak Indonesia pada peringatan HAN tahun ini. Mengingat, dalam berbagai kesempatan pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Kementerian Kesehatan selalu menyatakan kesiapan Indonesia untuk mengaksesi FCTC pada masa pemerintahan SBY,” kata Hery, ditulis Kamis (24/7/2014).
 
Hery pun mengkritisi sikap pemerintah yang dinilainya cenderung ambigu. Di satu sisi menyatakan rokok mengancam generasi muda, terutama anak, tetapi di pihak lain pemerintah tidak mau meratifikasi FCTC. Bahkan, sampai sisa waktu kurang dari 100 hari ini, belum ada tanda-tanda pemerintah akan merealisasikan niatnya itu.
 
“Jika sampai batas akhir kekuasaannya Presiden SBY tidak juga melakukan  aksesi FCTC, patut disebut pemerintah tidak berpihak terhadap perlindungan anak dan gagal lindungi anak dari zat adiktif rokok”, tegas Hery.
 
Menurut dia, FCTC tidak akan mematikan industri rokok atau petani tembakau melainkan melindungi generasi masa kini dan masa datang dari akibat buruk konsumsi rokok dan paparan asap rokok terhadap kesehatan. Caranya dengan pengaturan penjualan rokok dan pembatasan akses masyarakat utamanya kaum muda terhadap produk rokok.
 
Absennya Indonesia dari bagian 178 negara yang telah meratifikasi FCTC, kata Hery, akan mengakibatkan Indonesia menjadi target pasar atau tujuan utama pemasaran industri  rokok multi nasional. Ini  berisiko merusak kesehatan generasi bangsa dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia.
 
Selain itu, industri rokok juga akan terus meningkatkan konsumsi rokok di kalangan kelompok rentan terutama anak-anak, perempuan dan penduduk miskin. Hal ini akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian terkait penyakit akibat konsumsi rokok.
 
"Pada peringatan HAN tahun ini, sudah saatnya pemerintah menunjukkan keberpihakan terhadap perlindungan anak dari zat adiktif rokok. Di antaranya  membuat kebijakan yang dapat mencegah anak menjadi perokok pemula. Ini bagian dari upaya pemenuhan hak konstitusional anak untuk dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal seperti dijamin UUD 1945, Pasal 28B ayat (2)," ungkapnya.
 
Secara terpisah, ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi mengatakan, SBY bisa meninggalkan warisan bagi kesehatan masyarakat Indonesia dengan meratifikasi FCTC.
 
“Toh apalagi yang dipertimbangkan dalam politiknya. Kalau dulu beliau mencari isu populis karena takut tidak dipilih, tetapi sekarang tidak perlu. Maka ini momentumnya untuk SBY meninggalkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat,” kata Tulus.
 
Menurut Tulus, YLKI bersama beberapa lembaga swadaya masyarakat pada tahun 2009-2010 lalu telah melayangkan gugatan perdata terhadap SBY karena dianggap melanggar HAM dalam penanggulangan tembakau dengan tidak meratifikasi FCTC. Namun gugatan itu ditolak dengan alasan Presiden tidak bersalah. Kasus ini naik banding, tetapi sampai sekarang belum ada putusan Mahkamah Agung.
 
"Selain menunjukkan kepatuhan Indonesia terhadap regulasi internasional, ratifikasi FCTC pun efektif melindungi anak,  remaja, dan keluarga miskin dari konsumsi rokok. Sebab, siapa pun presidennya, termasuk yang terpilih nanti, jangan bermimpi untuk menanggulangi kemiskinan bila konsumsi rokok di kalangan masyarakat miskin masih tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Juni 2014 menunjukkan orang miskin di Indonesia bertambah sekitar 110.000 orang. Menurut Tulus, salah satu pemicunya adalah bertambahnya konsumsi rokok," ujarnya.
 
Tulus menambahkan, survei menunjukkan pengeluaran rumah tangga miskin untuk membeli rokok jauh lebih besar dari yang kaya. Pengeluaran untuk membeli rokok nomor dua setelah beras, bahkan lebih jauh lagi untuk pembelian makanan bergizi. Akibatnya, dari keluarga miskin ini melahirkan generasi yang miskin pula dan tidak berdaya saing.
 
Sebelumnya, Ketua Indonesian Tobacco Control Network (ITCN), Kartono Muhammad, mengatakan pokok dari FCTC, antara lain mengendalikan permintaan konsumsi tembakau melalui cara, misalnya larangan penjualan rokok kepada anak di bawah umur, perdagangan ilegal, dan adanya kawasan tanpa asap rokok. Juga larangan iklan, promosi, sponsorship dan peningkatan harga cukai.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini