Sukses

Indonesia Akan Perluas Akses Penanggulangan TB

Kementerian Kesehatan RI tetap berharap bahwa jumlah penderita TB bisa kembali dikurangi dengan cara perluasan akses.

Liputan6.com, Jakarta Meski angka penderita Tuberkulosis (TB) di Indonesia telah berkurang sejak 1990, namun Kementerian Kesehatan RI tetap berharap bahwa jumlah penderita TB bisa kembali dikurangi dengan cara perluasan akses.

Seperti diungkapkan oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen PP dan PL) Kemenkes RI, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama bahwa dalam pencapaian Millennium Development Goalsl (MDGs), program pengendalian TB diarahkan kepada universal access.

"Peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan DOTS yang lebih luas dengan tujuan menjangkau seluruh kasus TB
yang ada di masyarakat termasuk layanan untuk TBHIV, TBMDR, dan TB Anak," kata Tjandra, seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (24/3/2014).

Menurut Tjandra, peningkatan penjangkauan layanan TB ini menggunakan penekanan pada pendekatan penguatan sistem yang dicerminkan dalam 6 pilar pelaksanaan penguatan Kemitraan Public Private Mix, yaitu:

Pilar 1

Penguatan layanan Direct Observed Treatment Short-Course Chemotherapy (DOTS) di Puskesmas yang meliputi penguatan sistim surveilans berbasis web, peningkatan kapasitas manajemen informasi untuk tindak lanjut, peningkatan kualitas layanan TB berkualitas, peninghatan cakupan TBHIV, peningkatan penjangkauan kasus pada wilayah daerah terpencil, perbatasan dan kepulauan, peningkatan rujukan kasus, peningkatan pelacakan kasus dan upaya promotif preventif lainnya.


Pilar 2

Penguatan layanan di seluruh rumah sakit baik pemerintah maupun swasta dengan memasukkan strategi DOTS sebagai salah satu komponen penilaian untuk Akreditasi Rumah Sakit.  Selain itu dari sisi pelayanan telah disusun Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran TB yang merupakan upaya agar seluruh pemberi pelayanan kesehatan harus memberikan pelayanan TB sesuai standar dan menjamin bahwa pasien akan ditangani dengan tatalaksana yang benar mulai diagnosis, pengobatan, pemantauan, dan evaluasi kesembuhan.

Pilar 3

Penguatan layanan DOTS di dokter praktek swasta (DPS) dan spesialis. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan penerapan International Standars for TB Care (ISTC) dan penerapan sistem rewards dan Sertifikasi untuk DPS, konsepnya adalah untuk ke depannya hanya dokter yang mempunyai kompetensi sertifikasi TB saja yang diijinkan untuk mengobati pasien TB, sedangkan dokter yang belum tersertifikasi hanya akan menjaring suspek saja dan mengirimkan ke fasyankes DOTS.

Untuk pendekatan ini maka Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menjadi leading sector. Selain itu juga dilakukan beberapa inisiatif baru berupa uji pendahuluan yang didukung oleh beberapa donor yang melibatkan praktisi swasta di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Untuk itu, Program Nasional Pengendalian TB bekerjasama dengan organisasi profesi (PDPI). 

Luaran yang diharapkan adalah didapatkannya sistem pelibatan DPS dalam Program Pengendalian TB dan akan diperluas ke provinsi lain. Selain itu, Kementerian Kesehatan (Ditjen PP dan PL) juga sudah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan (Ditjen Pendidikan Tinggi) dengan meluncurkan Pedoman Nasional Penyusunan Modul TB di Kurikulum Fakultas Kedokteran serta sudah disosialisasikan kepada 70 Fakultas Kedokteran di Indonesia.

Pilar 4

Diagnostik TB adalah dasar kualitas dari program pengendalian TB. Pendekatan yang dilakukan adalah penguatan jejaring mutu eksternal dan internal pemeriksaan diagnostik TB sebagai bentuk dari pemantapan mutu eksternal Laboratorium. Selain itu juga ditunjuk 3 laboratorium rujukan nasional TB yang berfungsi sebagai : rujukan Mikroskopis TB (BLK Jawa Barat), rujukan Biakan dan uji Kepekaan (BBLK Surabaya) dan rujukan biomolekuler (Lab Mikrobiologi FK UI). Selain itu juga mulai digunakan berbagai inovasi dan inisiatif baru dalam diagnosis TB yaitu penggunaan alat diagnosis cepat yaitu Xpert MTB/Rif, hingga akhir September
2013 telah digunakan di 17 lokasi, dan akan ditambahkan 24 di beberapa tempat yang lain, didukung bantuan tehnis IMVS sebagai Laboratorium Supra National.‎

Pilar 5 

Penggunaan obat anti TB (OAT) dan penggunaan secara rasional. Untuk upaya pencegahan kejadian TB MDR maka harus didorong untuk penggunaan OAT secara rasional. 

Untuk pengelolaan logistik obat dan uji kualitasnya, Kemenkes melakukan prakualifikasi WHO untuk OAT serta mendorong keluarnya regulasi penggunaan OAT di pasaran, pelaksanaan post-marketing surveillance untuk TB, sertifikasi PPOM (Pusat Pemeriksaan Obat dan Makanan) sebagai laboratorium untuk quality assurance obat TB. Kegiatan ini melibatkan BPOM serta Ikatan Apoteker Indonesia (IAI).

Pilar 6 

Penguatan Sistem Komunitas. Komunitas adalah kekuatan yang besar dalam pengendalain TB, salah satu wujud nyata adalah mendukung komunitas untuk menjadi advokator untuk peningkatan komitmen pendanaan, peningkatan awareness masyarakat, mobilisasi sosial serta pelayanan TB di wilayah spesifik. Hal yang nyata didapatkan adalah terbentuknya beberapa
komunitas pasien yang berfungsi sebagai pendukung bagi sesama pasien. Contoh paguyuban adalah PAMALI TB, JAPETI ataupun PETA dll.

Sebelumnya, setiap 24 Maret, diperingati di seluruh dunia sebagai World Tuberculosis Day atau Hari Tuberkulosis sedunia. Tanggal ini dipilih karena pada tanggal tersebut, pendiri modern bakteriologi Robert Koch, mengumumkan bahwa dia berhasil menemukan kuman penyebab tuberkulosis. Dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa ada 3 juta orang yang tidak tahu bahwa dirinya TB. Setiap tahun juga ada 9 juta orang terkena TB.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.