Sukses

Yulinda, Setelah Kambuh Sekarang Telah Bebas dari TB

Berawal dari sekedar ngobrol bersama teman yang TB, tiga bulan kemudian Yulinda (27) juga menderita hal sama.

Liputan6.com, Jakarta Berawal dari sekadar ngobrol bersama teman-teman yang mengaku Tuberkulosis (TB), tiga bulan kemudian akhirnya Yulinda (27) juga menderita hal sama.

"Sekitar 2005, saya selesai SMA dan mendapat pekerjaan di salah satu pabrik di Bogor. Di sana saya punya teman akrab yang ternyata mengalami TB. Saya masih awam dan dia cerita banyak tentang TB," kata Yulinda di sela-sela acara temu media jelang Peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2014 di Puri Denpasar Hotel, Jakarta, Jumat (21/3/2014).

Tapi siapa sangka, sejak tiga bulan bersama sahabatnya atau tepatnya pada 2008, Yulinda menderita batuk yang tak kunjung sembuh. Dan setelah memeriksakan diri ternyata menurut puskesmas setempat, Yulinda positif TB.

"Saya kaget ternyata saya menderita penyakit yang sama seperti dia. Waktu itu saya mengalami batuk dan demam sampai tiga minggu. Batuk mengeluarkan darah dan berat badan turun dari 45 ke 34 kilogram," cerita wanita asli Bogor tersebut.

Sayang, obat yang mestinya diminum untuk 6 bulan, tiba-tiba ia stop setelah 3 bulan. Yulinda merasa saat itu sudah `sehat' karena batuknya mulai berkurang. Padahal waktu itu dia tidak sadar, kuman TB hanya tertidur sementara.

"Setelah 3 bulan saya memutuskan untuk berhenti minum obat. Tapi di situlah awal malapetaka bagi saya," ujarnya.

Hanya selang beberapa minggu, gejala TB muncul lagi. Waktu itu tahun 2010, Ia memeriksakan diri ke Rumah Sakit Paru (RSP) Dr. M. Goenawan Partowidigdo, Bogor.

"Di sana, dokter mengatakan bahwa TB yang saya derita makin parah atau resisten. Saya tidak bisa beraktivitas seperti biasa apalagi kuliah dan kerja. Padahal saat itu saya sedang kuliah DIII," cerita wanita yang mengenakan pakaian senada berwarna pink tersebut.

Tiga bulan berobat di RS Goenawan, kondisi Yulinda justru semakin memburuk. Dokter setempat akhirnya memberikan pilihan pada Yulinda untuk berobat di RS Persahabatan, Jakarta agar tidak menularkan kuman TB kepada keluarga.

"Saya diberi penjelasan oleh pihak RS di Bogor bahwa saya harus mengonsumsi obat MDR (multidrug-resistant) yang tinggi efek sampingnya dan tidak boleh putus minum selama 2 tahun," katanya.

Fungsi hati terganggu

Daripada berisiko menularkan kuman ke anggota keluarga lain di Bogor, Yulinda memutuskan pindah ke Jakarta dan mulai berobat di RS Persahabatan.

Meski semua pengobatan dan biaya obat dan kos ditanggung RS Persahabatan, tapi cerita saat awal mula tinggal di Kota Metropolitan ini kurang menyenangkan bagi Yulinda.

"Saat itu saya pindah ke Jakarta dengan pikiran untuk menghindari penularan ke keluarga. Sampai di Jakarta, ternyata semuanya gratis. Bahkan saya dapat uang transport. Selama 4 bulan saya mendapat uang Rp 1.050.000. Tapi mungkin karena banyak yang menderita TB, saya hanya menerima Rp 400.000 setiap bulannya," kata Yulinda.

Dengan uang Rp 400.000 itu, Yulinda mulai tinggal di kos. Tapi tak lama tinggal di kos, ibu kos khawatir dengan penyakitnya. Dia khawatir Yulinda bakal menulari penghuni kos lain. "Untuk dapat surat domisili, saya sempat diusir karena ketahuan sakit. Sampai akhirnya saya pindah kos," ujarnya.

Dalam setahun pengobatan, efek samping obat mulai memengaruhi organ tubuh lain. Yulinda sempat dirawat inap di rumah sakit karena gangguan fungsi hati. Rupanya tak hanya hati atau lever yang menyerangnya akibat minum obat. Efek samping lain seperti rambut rontok, jerawat, muka menghitam, pendengaran berdenging dan mata yang menguning bahkan mulai menyerang. 

"Waktu itu, obat TB-nya dihentikan dulu mungkin supaya fungsi hatinya normal lagi," katanya. Beberapa minggu dirawat, Yulinda harus minum obat untuk memulihkan fungsi hati. Setelah pulih, obat TB diminum lagi. 

Akhirnya, perjuangan Yulinda melawan TB tidak sia-sia. Tepat pada 3 Februari 2013, dokter menyatakan Linda bersih dari kuman TB. Saat ini, berat badan Yulinda juga sudah naik lagi menjadi 65 kilogram. Ia juga sudah kembali bekerja seperti sebelumnya.

Harus tuntas

Menurut Dirjen P2PL ( Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan) Prof. Tjandra Yoga Aditama, tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang sebenarnya bisa sembuh. Sayang, belum ada satu negara yang bisa menuntaskan penyakit TB.

TB merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara (percikan dahak penderita TB). Kuman ini bisa hilang tuntas dalam diri seseorang asal diberi obat yang tepat dan pasien patuh minum obat setiap hari selama enam bulan.

Tapi kebanyakan orang yang menderita TB seperti Yulinda malas minum obat atau menghentikan obat di tiga bulan pertama karena merasa sudah sembuh seiring dengan menghilangnya gejala.

Tidak heran pula banyak yang kurang senang dengan 15 jenis obat yang harus diminum setiap hari per sepuluh menit. Akibatnya, penyakit justru bukannya sembuh, melainkan kuman TB yang masih hidup atau saat itu hanya 'tidur' makin kebal. Pengobatan selanjutnya pun harus berlangsung lebih lama (dua tahun) dengan dosis yang lebih tinggi.

Sejauh ini, telah ada 16 RS rujukan di 15 provinsi, ditambah 3 Sub rujukan dan 285 fasilitas layanan kesehatan satelit.

Ingin Dirikan Organisasi Pejuang Tangguh

Sejak tinggal di Jakarta, Yulinda bertemu banyak teman yang juga menderita TB. Yang menyedihkan adalah ketika ia melihat temannya satu per satu meninggal karena TB. "Sempat takut dan kepikiran apakah dirinya masih bisa hidup. Tapi ya, jalanin saja."

Yulinda mengatakan, kebanyakan temannya yang meninggal rata-rata karena tidak kuat efek samping obat TB. MDR yang merupakan jenis obat TB dengan dosis tinggi yang bisa menyebabkan muntah, mual, pusing, mata kuning hingga meninggal.

"Tapi karena memiliki banyak teman itulah, saya dan teman-teman semangat untuk sembuh dan terpikirkan untuk membentuk sebuah organisasi. Ya walaupun sekarang masih wacana, kami sudah memikirkan namanya, Pejuang Tangguh (Peta) yang kuat melawan TB," jelasnya.

Menurut Yulinda, anggota Peta saat ini ada 20 orang yang terdiri dari bermacam daerah di Indonesia yang menderita TB.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.